2.

0 0 0
                                    

1.SATU-SATUNYA JALAN

LEBIH dari delapan jam Yuda habiskan untuk menempuh
perjalanan kereta api dari Banjar sampai ke Jakarta. Belum
termasuk perjalanan dari rumahnya di Desa Cijulang menuju
Banjar. Lebih dari delapan bulan Yuda bergulat batin sampai
tekadnya bulat untuk menemui Guntur. Tak sampai setengah
jam, semua yang hendak disampaikannya tuntas.
Yuda memang tak memiliki bahan basa-basi apa pun buat
manusia satu itu.

Langsung dan lugas, Yuda menyampaikan
alasan kedatangannya. Saat ia berbicara, hampir selalu matanya
minggat ke arah lain. Muka Guntur mengundang terlalu
banyak kesakitan. Kemarahan.
Guntur melakukan hal serupa. Telinganya mendengar
kendati matanya terpaku ke arah lain. Melihat Yuda hari itu
merupakan hal tersulit.

"Berapa lama?" tanya Guntur. Suaranya parau setelah lama
terdiam.

"Dua, tiga bulan?" Yuda mengangkat bahu. Panas
membakar itu menyerang lagi. Cepat-cepat, Yuda menyambar
air putih, berusaha meredam dorongan batuk yang mendesak.
Gelontoran air putih tidak membantu. Batuknya tetap pecah.
Guntur tak kuasa menahan kernyit. Batuk Yuda terdengar
brutal, seakan ada yang sobek di tenggorokan pria itu.

"Saya beruntung kalau masih sempat melihat dia lulus
SMA." Yuda melanjutkan dengan napas tersengal.
Pintu diketuk.

"Ya!" Guntur terdengar gusar.
Dahlia melongokkan kepala dari balik daun pintu. Ia tak
berkata apa-apa, hanya jarinya menunjuk ke jam tangan.

Guntur membalas kode Dahlia dengan kibasan tangan di
leher, pertanda agendanya ke DPR harus digagalkan.

Pintu itu menutup. Namun, kemunculan Dahlia yang
sekejap berhasil merenggut Guntur untuk kembali ke konteks
masa kini. Kariernya. Perjuangannya. Hidupnya.

"Saya tidak tahu bagaimana menyampaikan ini tanpa
terdengar-" Guntur berdeham. "Pak, sekarang adalah
waktu yang sangat, sangat sensitif. Saya tidak mungkin bisa
memenuhi permintaan Bapak tanpa mengundang perhatian
dan pertanyaan banyak orang."

"Jangan sekali-sekali kamu kira itu permintaanku. Lebih
saya mati tiga kali daripada harus ketemu kamu!" tukas
Yuda. "Itu permintaan Kinari."

"Saya lagi jadi sorotan publik, Pak. Situasi begini yang bakal
dimakan habis oleh musuh-musuh saya. Ini bakal jadi skan―"
Guntur cepat-cepat mengerem kalimatnya.

"Skandal?" desis Yuda. "Itu artinya kami buatmu?"

"Bukan begitu maksud saya. Maaf, Pak." Suara Guntur
gemetar.

"Kamu khianati Kinari selagi hidup. Masih tega kamu
khianati Kinari setelah dia mati? Setelah saya mati?" Dada
Yuda kembali naik turun, bukan akibat menahan batuk,
melainkan karena menahan perih yang menyayat hatinya.

Keduanya lama terdiam hingga akhirnya kesunyian di
ruangan kembali koyak oleh batuk Yuda.

Bunyi menyakitkan kuping itu menyadarkan Guntur
akan skala musibah yang harus la tanggulangi. Yuda baru saja
menghadiahkan bom yang sanggup meledakkan kariernya
dalam sekedip mata. Tak hanya karier, ledakan bom ini lebih
besar lagi bagi keluarganya.

"Ini bukan masalah kecil, Pak. Banyak orang akan terlibat,
terkena dampak. Saya harus bicara dulu dengan keluarga saya,
dengan tim saya.....
"Setelah saya tidak ada, dia tidak punya siapa-siapa."

Yuda berbicara seolah kepada dirinya sendiri. Pandangannya
menerawang, kali ini bukan untuk menghindari Guntur.
Ingatannya pulang ke halaman rumahnya di tepian Sungai
Cijulang, ke perayaan ulang tahun yang selama tujuh belas
tahun terakhir tak pernah absen ia selenggarakan, sesederhana
apa pun itu, walau kue tar dan lilin digantikan semangkuk siput
teritip yang mereka panen dari kaki-kaki dermaga kecil di
halaman belakang. Mengucapkan kalimat barusan membobol
pertahanan Yuda. Bola matanya mulai bersaput air.

"Kasih saya waktu." Guntur berkata pelan. Yuda menggosok mata dengan kain bandana yang ia cabut
dari kantong jinsnya. Waktu adalah satu hal yang tak ia punya.

"Saya tidak akan pergi dari Jakarta sampai saya mendapat
kepastian," ucapnya seraya menyerahkan secarik kertas berisi
sederet angka ditulis tangan. "Itu nomor telepon saya. Kapan
pun dipanggil, saya datang. Saya tunggu."

Papay.

RAPIJALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang