3.

0 1 0
                                    

ADA banyak jenis manusia dengan bermacam penampilan yang
datang ke rumah pemenangan ini. Mulai dari emak-emak
relawan yang tinggal di gang-gang kecil sampai para cukong
kaya raya yang tertarik menyokong kampanye mereka. Namun,
ada yang tidak biasa dengan Yuda Alexander. Kedatangannya
pagi tadi segera mencuri perhatian Dahlia.

Dari fisiknya, Dahlia menaksir usia Yuda sudah lanjut.
Kepala tujuh atau nyaris. Selera Yuda berbusana tampak jauh lebih muda. Membungkus tubuhnya yang tinggi kurus, pria itu memakai kemeja jins dan celana jins yang sobek di
beberapa tempat.

Rambut sebahunya, yang seluruhnya sudah putih, diurai lepas. Ada bandana merah mencuat di kantong
belakang jinsnya, bersisian dengan dompet yang terhubung
ke tali pinggang oleh seutas rantai. Kemeja yang kancingnya
separuh terbuka itu melapisi kaus hitam bertuliskan Led
Zeppelin.

Kakinya dialasi sepasang Converse kumal. Ketika kali pertama melihat roman Yuda yang kentara berdarah
Kaukasia, Dahlia refleks hendak menyapa dalam bahasa Inggris. Untungnya, Yuda sudah lebih dahulu berbicara kepada resepsionis. Terdengarlah bahasa Indonesia berlogat Sunda kental.
Yuda Alexander menyimpan banyak kejutan, demikian kesimpulan Dahlia. Namun, apa yang ia dengar barusan
melampaui batas antisipasinya.

"Lia Say something "Guntur melirik Dahlia yang sejak tadi
membisu dan cuma menatap hampa karpet hijau lumut di
bawah kaki mereka.

"Kamu masih ingat waktu pemilihan Ketua Senar."

Tatapan mata Dahlia tetap kosong meski akhirnya is
bersuara.

"Aku dan kamu, kita bersaing sehat. Tapi, Randy
tidak. Dia mencoba cara-cara
kampungan, kampanye hitam
Kamu diserang, dan aku yang teriak paling keras. Aku paling
nggak suka cara begitu." Dahlia menghujam Guntur dengan
tatapan tajam. "Kamu harus minta tes DNA."

Guntur menganga.

"Ini harga yang terlalu besar, Gun. Kita harus pastikan
semua kerepotan ini setimpal. Kita nggak tahu siapa Yuda
Alexander, siapa yang mendalangi dia-"

"Nggak ada dalang-dalangan. Dia nggak bohong," potong
Guntur. "Kinari," lanjutnya kaku. Terlalu lama nama itu tak
terucap.

"Anaknya Pak Yuda. Dulu sekali, waktu aku masih
di LSM Pelita Kulon, setahun lebih aku bolak-balik ke Batu
Karas, ingat? Entah kamu ingat atau nggak, aku pernah cerita
soal Kinari sama kamu. Kami sempat—"

"Ya. Aku ingat," sambar Dahlia. "Tapi, bagaimana kamu
bisa yakin cucunya Pak Yuda itu betulan anakmu? Waktu anak
itu lahir, kamu sudah nggak di sana, kan?"

"Aku masih di sana waktu Kinari baru hamil. Aku pikir
kandungan itu bakal di-" Guntur tak sanggup melanjutkan
Muram, ia mengucap, "Itu anakku. Aku tahu."

Tatapan Dahlia balik ke karpet dan kembali menghampa.
Namun, di balik itu, otak Dahlia berputar keras.

"Li, aku minta maaf."
Dahlia tidak bereaksi.
"Lia...."
"Diam."
Guntur menggoyangkan kepala sambil memijat keningnya,

"Kenapa harus sekarang... fuck! Kenapa harus sekarang?"
bisiknya berulang-ulang.
Dalam benak Dahlia, berputar pertanyaan senada. Kenapa
kamu harus terperosok di lubang serupa, lagi dan lagi? Kenapa
harus aku yang membereskan sampahmu, lagi dan lagi?
Kaki Guntur ikut bergoyang-goyang. Kebisuan Dahlia semakin menambah kekalutannya.

"Li, sumpah, aku nggak tahu lagi harus ngapain-"

"Aku tidak akan membuang semua kerja keras kita gara-
gara kecerobohanmu di masa lalu." Dahlia bangkit berdiri.

"Kita harus cari tahu tentang dia."
"Siapa?"

"Cucunya Yuda Alexander," kata Dahlia dengan hampir
menggeram, "anak perempuanmu." Telunjuknya mengacung
di depan muka Guntur. "Sekarang, ceritakan semuanya dari
awal. Jangan lewatkan detail secuil pun. Baru aku bisa susun
strategi."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RAPIJALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang