Sake and Your Lips

867 120 8
                                    


Di luar kedai sake yang sunyi, malam menyelimuti desa dengan keheningan yang dalam.

Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menyinari jalanan berbatu yang sepi. Di dalam kedai, suara lembut percikan sake yang dituangkan ke dalam cangkir adalah satu-satunya suara yang terdengar selain hembusan angin malam.

Meja kayu tempat Sasuke dan Hinata duduk terasa seperti benteng isolasi, jauh dari kegembiraan pernikahan yang baru saja mereka hadiri.

Sasuke duduk di sisi kanan meja, tubuhnya tegak tapi wajahnya suram. Matanya yang tajam mengarah ke cangkir sake di hadapannya, namun pikirannya jauh dari sana. Dia mungkin tampak tenang bagi siapa pun yang melihatnya, tapi di balik ketenangan itu ada badai yang menghancurkan hatinya perlahan.

Naruto, sahabat sekaligus rivalnya, telah menikahi Sakura-wanita yang dulu mengharapkan cintanya dengan segenap jiwa. Meskipun Sasuke tak pernah menanggapi perasaan Sakura, kini melihat Naruto dan Sakura bersama mengingatkan dirinya pada semua hubungan yang tak bisa ia miliki, pada semua emosi yang ia pendam. Seolah ia dikhianati.

Di sampingnya, Hinata duduk dengan raut wajah yang muram, tapi tetap lembut. Senyum samar yang biasa ia tunjukkan kepada Naruto kini hilang, digantikan oleh bayangan kesedihan yang menyelimuti matanya. Semua orang tahu tentang cinta Hinata kepada Naruto, cinta yang ia perjuangkan bertahun-tahun. Tapi malam itu, Naruto telah memilih Sakura. Perasaan Hinata bagaikan kaca yang retak, pecah berantakan dalam keheningan yang sunyi. Hatinya terasa hampa, namun ia tak mengungkapkan apa pun. Tatapannya perlahan berpindah ke cangkir sake di depannya, mencoba meredakan kepedihan yang ia rasakan.

Beberapa saat berlalu dalam diam. Tak ada yang perlu dikatakan; rasa sakit mereka berdua menggantung di udara, saling memahami tanpa sepatah kata pun. Hingga akhirnya, Sasuke memecah kesunyian, suaranya pelan namun tegas.

"Kenapa kau di sini?" tanya Sasuke tanpa menoleh. Ada keletihan dalam nadanya, seperti ia sudah tahu jawabannya tapi tetap ingin mendengarnya.

Hinata terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya hampir berbisik, "Aku... tidak ingin pulang terlalu cepat."

Sasuke mengangguk kecil, memahami lebih dari yang ia tunjukkan. Mereka berdua tidak pernah terlalu dekat, tapi di momen ini, mereka merasakan sebuah kesamaan yang tak perlu dijelaskan. Sama-sama berada di luar lingkaran kebahagiaan, sama-sama patah hati oleh keputusan orang yang mereka cintai.

Seteguk sake diminum oleh Sasuke, tatapannya akhirnya beralih pada Hinata, yang duduk di sana dengan tangan menggenggam cangkirnya, tapi belum meminumnya. Mata lavendernya terpaku pada cangkir, seakan itu adalah satu-satunya yang bisa menahannya dari runtuh.

"Naruto dan Sakura... mereka sudah bahagia," Sasuke melanjutkan, nadanya datar, tapi ada jejak kepahitan di sana.

Hinata mengangguk pelan, matanya tak lepas dari cangkirnya. "Iya," jawabnya dengan suara yang hampir pecah, "Aku senang untuk mereka."

Sasuke tahu bahwa kata-kata itu tidak sepenuhnya jujur. Sama seperti dirinya, gadis Hyuuga ini juga menyembunyikan kekecewaan di balik senyum tipisnya. Ia bisa merasakan luka yang mereka berdua bawa malam itu, meski tak ada yang mengucapkannya dengan jelas.

Tanpa sadar, jarak emosional di antara mereka mulai menyempit. Sasuke, yang biasanya acuh, tiba-tiba merasa seolah Hinata adalah satu-satunya orang di dunia yang mengerti apa yang sedang ia rasakan. Dan Hinata, dengan hatinya yang patah, merasakan hal yang sama. Mereka adalah dua jiwa yang tersesat di antara kebahagiaan orang lain, dan dalam kesunyian kedai sake itu, mereka menemukan semacam kedamaian satu sama lain.

That's How We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang