𝐁𝐚𝐛 𝟒 ( 𝐃𝐢 𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐤𝐞𝐬𝐮𝐧𝐲𝐢𝐚𝐧 )

31 12 7
                                    

__𝐋𝐀𝐔𝐑𝐀 𝐃𝐀𝐍 𝐋𝐔𝐊𝐀 𝐍𝐘𝐀 __❤️‍🩹

__ 𝐇𝐚𝐢𝐢 𝐤𝐚𝐰𝐚𝐧" 𝐲𝐠 𝐦𝐚𝐧𝐢𝐞𝐳𝐳 😄 𝐀𝐥𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐡 𝐛𝐚𝐢𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐊𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫𝐧𝐲𝐚 😁

_𝐀𝐤𝐮𝐧 𝐬𝐨𝐬𝐦𝐞𝐝 ( 𝐈𝐧𝐬𝐭𝐚𝐠𝐫𝐚𝐦, 𝐭𝐢𝐤𝐭𝐨𝐤, 𝐭𝐰𝐢𝐭𝐞𝐫)_
>> 𝐚𝐤𝐮𝐧𝐬𝐩𝐚𝐦𝐚𝐣𝐚_𝟐𝟕
>> 𝐢𝐦𝐚𝐠𝐢𝐧𝐚𝐬𝐢𝐩𝐞𝐧𝐚_𝐳𝐡𝐫𝐚𝟐𝟕

__𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐠𝐮𝐲𝐬𝐬, 𝐣𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐫 𝐤𝐚𝐥𝐢𝐚𝐧__🤍👍🏻



---

Langit sore perlahan berubah jingga saat Laura berjalan di samping Fero sangat kekasih, menuju rumah sakit. Laura sudah merasa aneh sejak pagi, kepalanya sering berdenyut dan pandangannya kadang kabur. Namun, ia berusaha untuk tidak mengeluh. Ia tidak ingin menambah beban siapa pun, terutama sang abang Farel dan adiknya Nita, yang masih berkutat dengan kesedihan mereka.

"Sudah sering kayak gini, Cil?" tanya Fero dengan nada khawatir, menggenggam erat tangan sang kekasih Laura yg ia sebut bocil itu.

Laura tersenyum tipis, meski ada rasa sakit di balik senyuman itu. "Nggak apa-apa, cuma sakit kepala biasa."

Namun, Fero tahu ada sesuatu yang tidak beres. Matanya yang tajam menangkap kekhawatiran di wajah Laura yang selalu mencoba tegar. Ia tidak pernah mengeluh, bahkan ketika hidup mulai menekan dari segala arah. Tapi kali ini berbeda.

Setibanya di rumah sakit, Laura menjalani beberapa pemeriksaan. Fero menunggu dengan cemas di luar ruangan, rasa takut menggerogoti hatinya. Ia mencoba menenangkan diri, tapi bayangan tentang hal-hal buruk tidak mau pergi.

Beberapa saat kemudian, Laura keluar dari ruang periksa dengan wajah pucat. Matanya kosong, seolah jiwanya telah tersapu jauh. Fero langsung menghampirinya.

"Apa kata dokternya?" tanyanya lembut, menahan rasa takut yang terus menjalar di dadanya.

Laura menunduk, tidak berani menatap mata Fero. "Nggak ada yang serius," katanya dengan suara pelan. "Hanya stres dan kecapekan."

Fero menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Kamu yakin ? Kenapa mukamu begitu pucat, cil?"

Laura hanya tersenyum lemah, meskipun hatinya bergejolak hebat. Ia tidak bisa memberitahu Fero, apalagi Farel dan Nita. Setelah kehilangan ibu, Laura tahu bagaimana tenggelamnya mereka dalam kesedihan ini. Bagaimana mungkin ia memberitahu bahwa hidupnya kini berada di ujung tanduk?

"Fero, aku baik-baik saja," ujarnya, mencoba meyakinkan, meskipun rasa takut mencengkeram dirinya. "Aku cuma butuh istirahat."

Perjalanan pulang terasa sunyi. Kepalanya terus berdenyut, namun yang lebih menyakitkan adalah hasil pemeriksaan yang baru saja ia terima: 𝐤𝐚𝐧𝐤𝐞𝐫 𝐨𝐭𝐚𝐤 stadium lanjut. Laura diberikan waktu yang sangat terbatas. Dunia serasa runtuh di sekelilingnya, tetapi ia tahu, ia harus tetap kuat untuk menemani saudara saudaranya melewati ujian ini. Mereka tidak boleh tahu. Mereka sudah cukup terluka.

Setibanya di rumah, Laura menemukan Nita sedang duduk di lantai, menangis sendirian. Hatinya semakin remuk melihat adiknya begitu rapuh. Tanpa sepatah kata, ia menghampiri dan memeluk Nita erat, membiarkan adiknya menangis di bahunya. Kata-kata terasa tak berguna saat ini.

Nita tersedak dalam tangis. "Aku nggak tahu gimana caranya hidup tanpa ibu, Kak. Rasanya kosong... setiap hari aku merasa semakin jauh dari semuanya."

Laura menahan napas, menekan rasa sakit yang semakin hebat di kepalanya. "Kita harus bertahan, Nita. Kita harus kuat... demi ibu."

Namun, di balik kata-kata tegar itu, Laura sendiri merasa hancur. Bagaimana mungkin ia bisa kuat saat tubuhnya perlahan melawan dirinya sendiri? Setiap malam, rasa sakit di kepalanya semakin parah, dan setiap pagi, ia harus memasang senyum seolah semuanya baik-baik saja.

Seminggu setelah pemeriksaan, Fero datang lagi ke rumah. Ia semakin cemas dengan kondisi Laura. Meski gadis itu terus bersikeras bahwa ia baik-baik saja, Fero tahu ada yang disembunyikannya.

"Cil, kita harus bicara serius," kata Fero memanggil Laura, dan duduk di ruang tamu.

Laura menatap Fero dengan mata yang lelah. "Bicara apa?"

Fero menggenggam tangannya erat. "Aku tahu ada yang salah. Aku tahu kamu nggak cerita semuanya. Tolong cil, jangan bohong sama Fero. Fero bisa lihat dari wajah kamu cil. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Laura terdiam, tangannya gemetar dalam genggaman Fero. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia berusaha menahannya. Ia sudah terlalu banyak menangis.

"Aku... aku nggak bisa," akhirnya Laura berkata, suaranya bergetar. "Aku nggak bisa bilang apa-apa, Fer. Ini terlalu berat."

Fero menatapnya penuh kesedihan. "Kalau bocil nggak bisa cerita sekarang, aku akan tetap di sini. Aku nggak akan ninggalin kamu cil. Tapi tolong, jangan menanggung ini sendirian yah? ."

Laura tidak menjawab. Ia hanya bisa menunduk, membiarkan air mata mengalir pelan. Dalam hatinya, ia tahu semakin lama ia menyembunyikan kenyataan ini, semakin sulit baginya untuk tetap berdiri. Tapi ia tidak bisa. Tidak sekarang. Tidak ketika keluarganya masih tenggelam dalam duka.

Malam itu, Laura kembali merasa sakit kepala yang luar biasa. Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang gelap, memegang kepalanya yang terasa semakin sakit. Air mata yang ia tahan sepanjang hari akhirnya jatuh.

"Kenapa harus aku?" bisiknya lirih dalam kegelapan. "Kenapa aku harus menghadapi ini sendirian?"

Namun, di balik semua rasa sakit dan ketakutan, ada satu hal yang terus ia pegang erat: cintanya untuk membangkitkan kembali semangat hidupnya, abng Farel, dan adiknya nita Mereka harus tetap bertahan. Mereka tidak boleh kehilangan harapan. Meski dirinya terbenam dalam ketakutan dan kesedihan, ia harus menjadi pilar semangat yang menjaga saudara saudara mereka tetap berdiri.

𝑳𝒂𝒖𝒓𝒂 𝑫𝒂𝒏 𝑳𝒖𝒌𝒂 𝒏𝒚𝒂Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang