Chapter 4

0 0 0
                                    

   Alice menatap pria yang sepertinya pernah berjumpa dengannya. Seingatnya, pria itu adalah orang yang ditabrak olehnya dua hari lalu di dekat halte. Sekarang, dia berdiri di hadapan.

   “Bukankah kau....”

   “Iya, sepertinya kau masih ingat,” ucap pria itu, “Aku ingin mengajakmu untuk menemui peserta lain.”

   “Apa kau anggota SSC?” Alice penasaran.

   Pria itu tertawa pelan. “Bukan, aku juga peserta. Aku mengumpulkan mereka dalam aula di motel ini untuk saling berkenalan. Mungkin kau harus segera menemui mereka.”

   Alice menghela napas. Istirahatnya jadi terganggu.

   “Baiklah, aku ganti pakaian dulu!” Alice menutup pintu.

   Alice mengecek barang bawaan untuk mengambil kaos. Seperti yang sudah direncanakan, Alice hanya membawa tiga kaos selama perjalanan. Dia pergi ke kamar mandi untuk melepas baju yang bau keringat itu, dan mengenakan kaos yang baru. Alice menatap ke cermin dan berbicara sendiri.

   “Dia tidak salah. Aku harus tahu siapa saja orang yang akan bersamaku dalam tantangan,” gumamnya.

   Setelah selesai di kamar mandi, Alice menghampiri pintu depan. Rupanya, pria itu masih berdiri di sana. Alice agak takjub dengan kesabaran orang ini. Mendengar pintu terbuka membuat pria berambut coklat itu menghampirinya.

   “Akhirnya kau selesai. Ayo, kita harus cepat!” Pria itu berjalan cepat ke arah lobi.

   Alice mengikuti tanpa sempat bertanya apa-apa. Langkah cepat si pria membuat Alice tak sanggup mengejarnya, tapi dia masih bisa melihat ke mana pria itu pergi. Tiba di sebuah lorong, Alice melihat pintu yang seperti baru saja dibuka. Dia menghampiri pintu itu dan dikejutkan dengan sekelompok orang yang duduk melingkar di dalamnya, ada dua pria dan tiga wanita.

   Pria tadi menarik tangan Alice memasuki ruangan dan duduk di salah satu lantai yang kosong. Alice memperhatikan semua orang di sana, tampak biasa saja seperti warga sipil pada umumnya. Tidak ada yang spesial dari mereka.

   “Baiklah, kurasa ini orang terakhir yang menjadi anggota kelompok kita. Akan lebih bagus jika dia memperkenalkan diri pada kita semua,” ucap pria itu membuka perbincangan.

   Alice sedikit canggung berhadapan dengan banyak orang. Dia tidak terlalu berani untuk berbicara di depan keramaian seperti ini. Semua orang menunggu perkenalan Alice. Melihat keadaan yang dialami Alice, Pria itu mengambil alih.

   “Baik, lebih baik saya yang memperkenalkan diri terlebih dahulu,” ucap pria itu, “Saya Alastair Johnson.”

   Salah satu gadis di sana mengacungkan tangan. “Namaku Claire Hansen, seorang mahasiswa.” Gadis itu menyiku gadis di sebelahnya.

   Gadis berkacamata yang disiku terkejut. “Hah?!! Oh, namaku Je-Jessica Spies.”

   Salah satu gadis yang lain berdiri, lalu membungkukkan badan. “Konnichiwa, namaku Ishikawa Haruka, seorang gamer.”

   Pria bertubuh agak besar menggeser pinggulnya ke depan. “Saya rasa perkenalan ini akan membuat kita saling ingat. Nama saya Kevin Gibson, polisi Pennsylvania.”

   Semua orang menoleh ke pria satunya yang duduk agak jauh dari lingkaran mereka. Kedua tangannya terlipat di atas perut dan ekspresinya datar sekali. Alice agak curiga dengan pria itu, seperti tidak suka dengan kehadirannya.

   Semua mata yang memperhatikannya membuat pria itu kesal. “Tsk, aku Harold.”

   Sekarang giliran Alice yang memperkenalkan diri. “Namaku... Alicia Reed. Panggil aku Alice.”

   “Baik... Kita sudah saling mengenal. Yang berikutnya, kita akan memilih ketua dari kelompok perjalanan ini,” lanjut Alastair.

   Semua orang memandang Alastair dengan wajah tersenyum. Pria itu merasakan sesuatu yang kurang baik, dan dia langsung menyadarinya.

   “Baiklah, aku yang akan menjadi ketua,” ucapnya pasrah.

   Setelah perkenalan, semua orang berbincang satu sama lain. Alice menggunakan kesempatan ini untuk berbicara bersama Jessica dan Haruka, dua orang yang langsung akrab dengannya. Mereka berbincang tentang persiapan mereka untuk mengikuti tantangan SSR.

   “Jessica, apa alasanmu mengikuti tantangan SSR?” tanya Alice.

   “Eh, aku? Aku... ingin membuktikan bahwa aku berani,” jawab Jessica agak gugup.

   “Berani? Semua orang mengikuti ini karena mereka berani,” sahut Haruka.

   “T-tapi..., Aku takut pada apa pun, bahkan... ruangan gelap juga.”

   Tiba-tiba, lampu mati secara mendadak. Semua orang terkejut, termasuk Jessica yang menjerit. Setelah itu, lampu menyala lagi. Alastair melirik ke tombol lampu, ternyata itu ulah Harold. Semua orang menatap kesal ke pria berambut hitam panjang itu. Sedangkan Jessica, dia memeluk tubuh Alice erat.

   “Apa? Aku hanya ingin mengajarkan pada Jessica bahwa dia harus berani pada apa pun.” Rupanya pria itu mendengar jawaban Jessica.

   Alice mengelus kepala Jessica untuk membuatnya tenang. Lambat laun, gadis berambut hitam dengan warna agak kemerahan dapat bernapas dengan lega. Alice mengusap air mata yang sudah membasahi pipinya. Jessica sudah tenang.

   “Baik, sekarang kita akan memeriksa kelengkapan barang-barang. Yang terpenting adalah kita harus memiliki bekal yang banyak selama tujuh hari di kota mati itu,” ucap Alastair.

   “Aku sudah membawa banyak barang. Senter, pisau, kapak, panci, tali tambang, dan kasur lipat. Kita mungkin bisa mencari tempat yang-“

   “Huh, kau tidur di kasur lipat? Lemah!” ejek Harold yang memotong jawaban Claire.

   Kevin tampak tidak senang dengan ejekan Harold dan menghampirinya dengan kesal. “Apa masalahmu, kawan?”

   “Ini tantangan bertahan hidup. Seharusnya kita menggunakan kemampuan kita untuk menemukan barang-barang yang dibutuhkan selama berada di kota itu. Kau ingin bertahan hidup, atau berkemah?” jelas Harold agak keras. “Kaulah masalahku, opsir!”

   Alastair sontak melerai mereka berdua. “Ayolah! Kita belum bertualang tapi kalian sudah saling berdebat. Aku tahu kita semua memiliki pendapat masing-masing, tapi kita akan menjadi tim. Kita harus bekerja sama dalam menyelesaikan tantangan ini.”

   Harold dan Kevin saling berpandangan, lalu Kevin pergi menjauh. Para gadis tampak heran melihat para pria yang saling beradu tatapan. Alice seperti merasakan sesuatu pada Harold, tapi mungkin itu hanya perasaannya saja.

   “Lalu, apa alasanmu mengikuti tantangan SSR ini?” tanya Haruka pada Alice.

   “Aku?” Alice berpikir. “Jika boleh jujur, aku sedang membutuhkan uang untuk memperbaiki kamar apartemenku dan biaya kuliahku.”

   Haruka mengangguk. “Kalau aku, aku akan gunakan uang itu untuk membeli konsol baru. Banyak konsol permainan yang menyenangkan untuk dicoba.”

   “T-tapi..., Bukannya dua juta dolar itu..., untuk dibagi-bagi?” tanya Jessica.

   Haruka terkejut. “Ah iya, benar! Tapi tidak masalah. Aku masih punya beberapa uang untuk menimpalnya.”

   Setelah perbincangan yang hangat bersama timnya, Alice kembali ke kamar dengan diantar oleh Alastair. Keadaan langit di luar ruangan mulai menunjukkan tanda-tanda akan malam. Perbincangan mereka yang panjang membuatnya mereka lupa waktu.

   “Alice, apakah kau sudah siap untuk tantangan besok?” tanya Alastair memecah keheningan.

   “Aku siap. Jika tidak, aku sudah mengundurkan diri sejak tadi,” kelakar Alice.

   Mereka tiba di depan kamar Alice. Mereka saling berpandangan seperti sepasang kekasih. Namun, Alice langsung masuk ke kamar. Alastair menghela napas.

   “Baiklah, jangan lupa untuk tantangan besok!” seru Alastair dari luar.

   Alice berbaring di atas kasur yang nyaman sembari memikirkan teman-teman satu tim. Mereka memiliki latar belakang yang berbeda, tapi memiliki tujuan yang jelas dalam mengikuti tantangan ini.

   “Aku tidak yakin bisa kembali dalam keadaan lengkap,” gumamnya.

   Tiba-tiba, Alice teringat dengan teka-teki yang dia baca di buku misterius. Dia mulai berpikir bahwa teka-teki itu berhubungan dengan kota yang akan mereka kunjungi. Memang terdengar seperti sudah direncanakan, tapi tidak ada salahnya mencoba. Alice mengambil kertas dan pena yang tersedia di meja kamar, lalu menulis teka-teki itu sesuai ingatannya.

   Kemudian, Alice mulai memecahkan teka-teki yang menurutnya sangat menarik itu. Jika dibaca dengan saksama, teka-teki itu seperti merujuk ke nama sebuah tempat. Permainan kata-katanya sangat membingungkan, persis kumpulan kalimat putus asa.

   “Aku salut dengan siapa pun yang membuat teka-teki ini. Dia membuatku pusing tujuh keliling,” gumam Alice agak bergurau.

   Satu jam dia habiskan untuk lima teka-teki itu, tapi belum ada satu pun jawaban yang ditemukan. Ada satu teka-teki yang menurutnya hampir menemukan jawabannya. Alice mulai memegang kepalanya dan bersandar pada kursi, disusul suara perut yang kosong. Gadis berambut pirang itu menghampiri tasnya, hanya mie mangkuk yang ditemukan.

   Alice memperhatikan ruangan kamar, ada teko pemanas air. Dia membuka satu botol air yang dibawanya, lalu menuang air itu ke dalam teko itu. Dia menyambungkan kabel penghubung ke stopkontak hingga lampu indikator menyala. Gadis itu menunggu sebentar.

   “Aku masih penasaran dengan teka-teki itu. Semua jawaban yang kutuang ke dalamnya sama sekali tidak cocok. Kurasa, aku harus mencari jawabannya di kota itu,” gumam Alice.

   Alice membuka bungkus mie dan memisahkan kemasan bumbunya. Ketika meletakkan bumbu di atas koran, dia tertarik membaca judul depan koran di bawahnya, tentang kebakaran di kota Centralia. Rupanya kota itu terbakar akibat tambang batu bara di bawah kota.

   Air mulai menjerit dari teko. Alice menuang air tersebut ke wadah mie mangkuk, lalu menunggu sebentar lagi. Alice membuka koran yang sepertinya sudah dicetak sejak tahun 1980-an. Sepertinya, ada kejanggalan dari penyebab kebakaran di kota itu yang membuat Alice berpikir ada yang tidak beres.

   Beralih dari pikiran itu, Alice meniriskan air dari mangkuk mie itu dan memasukkan bumbu. Setelahnya, gadis itu menyantap makanan instan yang menggugah selera. Dalam keadaan mulut mengunyah, Alice kembali memikirkan isi koran tadi, apalagi jika diingat, lokasi motel ini berdekatan dengan Kota Centralia. Sepertinya mereka akan menjalankan tantangan di sana.

   Selepas makan, Alice berbaring di kasur motel yang nyaman. Rasa kantuk mulai menyerang, tapi hasratnya masih mencari jawaban dari teka-teki itu. Dia memutar badan ke kanan dan kiri, rasa kantuk itu tertahan oleh rasa penasaran.

   “Mungkinkah..., jika teka-teki itu berhubungan dengan peristiwa kebakaran itu?”

The Dead Town (SSC Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang