Dina bangun pagi itu dengan rasa kantuk yang masih menyelimuti. Malam sebelumnya, ia sulit tidur, menghabiskan waktu berjam-jam dengan pikiran yang terus melayang pada lukisan-lukisan yang belum selesai. Dia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang membuat semangat melukisnya terus merosot, tetapi ia tidak bisa menentukan apa itu.
Setelah menarik napas panjang, Dina memutuskan untuk memulai hari seperti biasa. Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil sketsa-sketsa yang berserakan di atas mejanya, dan memandanginya sejenak. "Apa yang salah dengan ini semua?" pikirnya sambil membolak-balik halaman sketsa yang terasa semakin hampa dari hari ke hari.
Dina berjalan ke dapur, di mana ibunya sudah duduk sambil menyeruput teh. "Pagi, Dina. Sudah bangun? Mau sarapan?" tanya ibunya dengan senyum hangat.
"Mungkin nanti, Bu," jawab Dina sambil berjalan menuju pintu keluar. Ia merasa butuh udara segar dan sedikit gerakan fisik untuk menghilangkan rasa jenuh yang melandanya. "Aku mau jalan-jalan sebentar, siapa tahu ada ide muncul."
Setelah mengenakan jaket, Dina keluar dari rumah dan berjalan ke arah taman dekat rumahnya. Bukan untuk mencari ketenangan seperti yang sering ia lakukan di kafe, tetapi lebih untuk mengalihkan pikirannya dari stagnasi yang terus menumpuk di benaknya. Ia tidak terlalu berharap menemukan inspirasi kali ini, hanya sekadar menikmati suasana pagi yang masih sejuk.
Saat tiba di taman, Dina melihat sekelompok anak kecil berlarian di sekitar ayunan, suara tawa mereka mengisi udara yang segar. Ia duduk di bangku kayu yang menghadap ke area bermain dan memperhatikan bagaimana sinar matahari pagi menari di antara dedaunan pohon. Sejenak, hatinya terasa sedikit lebih ringan.
Dina merogoh sakunya dan mengeluarkan buku catatan kecil yang selalu ia bawa. Biasanya, ketika inspirasi datang tiba-tiba, dia akan mencatat atau menggambar sketsa kasar di buku itu. Namun kali ini, bahkan buku catatan itu tampak begitu sepi. Tangannya berhenti di atas halaman kosong, seakan tidak ada yang bisa ditulis atau digambar.
"Nggak bisa terus begini," gumamnya pelan, sambil menatap kosong ke depan. "Aku harus menemukan caranya... caranya untuk kembali."
Di sudut lain taman, tidak jauh dari tempat Dina duduk, Reza sedang berdiri di bawah pohon besar dengan cangkir kopi di tangannya. Dia sering datang ke taman ini sesekali. Matanya tertuju pada seseorang yang terlihat familiar. Dina, gadis yang sering datang ke coffee shop-nya.
Reza memperhatikan dari kejauhan, tidak ingin mengganggu. Dina tampak sangat fokus pada buku sketsanya, awalnya dia terlihat seperti kebingungan dan hanya menatap kosong ke buku tersebut, namun dia akhirnya mulai menggambar sesuatu. Jemarinya bergerak lincah seolah sedang menciptakan sesuatu yang penting. Ada sesuatu tentang caranya memegang pensil itu sebuah ketenangan yang terpancar meskipun ia terlihat rapuh. Reza tidak tahu banyak tentang kehidupan Dina selain bahwa dia adalah pelanggan setia yang selalu memesan cappuccino dan menghabiskan waktu berjam-jam di coffee shop tanpa banyak bicara. Namun, melihatnya di sini, di luar lingkungan coffee shop, membuat Reza menyadari bahwa gadis ini memiliki banyak sisi yang belum ia kenali.
Hatinya menghangat sedikit, meski ia tak tahu kenapa. Ia bukan tipe orang yang mudah terpengaruh oleh orang lain, tapi ada sesuatu tentang Dina yang menarik perhatiannya. Bukan hanya karena ia sering datang ke coffee shop, tapi juga karena caranya membawa diri, caranya tenggelam dalam dunia sketsanya, seperti sekarang.
Reza menghela napas pelan, lalu menyeruput kopi di tangannya. Ia merasa nyaman hanya dengan memperhatikan dari jauh, tanpa merasa perlu menyapa atau berinteraksi. Mungkin, suatu hari nanti, dia akan memberanikan diri untuk bicara lebih dari sekadar "pesanan seperti biasa?" Namun, hari ini, Reza memilih untuk tetap menjadi pengamat. Ia biarkan Dina tenggelam dalam dunianya sendiri tanpa terganggu, sementara dia menikmati momen kecil ini dalam diam.
Setelah beberapa saat, Reza akhirnya beranjak pergi, membuang sisa kopinya ke tempat sampah di dekat pintu keluar taman. Saat melangkah, ia tak sengaja melihat Dina sekali lagi. Gadis itu masih sibuk dengan buku sketsanya, benar-benar tak menyadari bahwa seseorang telah memperhatikannya. Reza tersenyum kecil pada dirinya sendiri sebelum menghilang di keramaian jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Kafe
RomanceSetelah dikhianati oleh tunangannya beberapa bulan sebelum lamaran, Dina Wulandari tenggelam dalam kesedihan dan kehilangan kepercayaan terhadap cinta. Hari-harinya dihabiskan dalam kesunyian, bersembunyi di sudut coffee shop favoritnya dengan buku...