Ekspresi cengo bak orang bodoh Louise tampilkan di hadapan tiga orang yang ada di ruangan tersebut. Siapapun tolong jelaskan padanya kesialan apa yang ia alami hari ini. Mulai dari sikap aneh orang tak dikenal dan kini pelukan erat yang sialnya entah mengapa membuat hatinya menghangat.
" Semangat Lou, demi hot wheels impian yang belum tentu terbeli andai kau menjual ginjal." semangatnya pada diri sendiri walau dengan raut wajah yang jika dilihat saja sudah kentara tertekan.
"Dear, b-bagaimana bisa?" Bisikan dengan suara bergetar serta elusan lembut di punggung sempit miliknya menyadarkan Louise dari lamunan.
"Apapun yang terjadi, Papa sangat merindukanmu." Aldrich takut semua ini hanyalah halusinasi. Sungguh ia tak berani melepas pelukan yang terasa hangat hingga ke relung hati, takut anak yang ia peluk meninggalkannya lagi. Kejadian tiga tahun lalu terus terputar bagai kaset rusak yang membuatnya semakin kalut dan berantakan.
Ingin rasanya Aldrich berteriak mengeluarkan segala keluh kesah yang ia rasakan setelah kehilangan Casey. Seolah ia hampir gila jika tak mengingat mempunyai 3 orang putra lainnya. Aldrich berjalan ke arah sofa dengan Louise yang senantiasa dalam rengkuhannya. Mendudukkan Louise di pangkuan, dikecupnya seluruh wajah serupa dengan sang anak yang teramat sangat ia rindukan . Sementara Ayhner terus memandang dengan air mata berlinang.
⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️
Tangisan beberapa saat lalu kini sudah mereda, bahkan sepasang anak dan ayah itu sudah mengetahui bahwa anak laki laki yang kini duduk kaku dipangkuan Aldrich bukanlah Casey kesayangan mereka. Walaupun ada secercah rasa kecewa yang hinggap di dada, tetapi mungkin inilah waktu yang tepat untuk membuka lembaran baru di kehidupan keluarganya.
Sementara tiga orang lainnya terdiam dengan pikiran melayang, putra ketiga Howard tampak mengerjabkan mata perlahan walaupun tatapan kosong itu belum juga menghilang. Bisikan lirih sarat akan harapan mengalun menimbulkan rasa yang kian menyesakkan.
"Casey..."
"Casey..."
Sungguh rasanya tubuh Axton sangat lemas, mungkin efek ia baru bangun dari pingsannya. Axton belum menyadari keberadaan bocah yang serupa dengan sang adik berada di pangkuan Papanya. Sementara diantara mereka bertiga tak ada yang berani mendekatinya, takut Axton kembali kehilangan kendali atas dirinya. Maka yang mereka lakukan hanya diam dan tenang, tak lupa Ayhner yang diam-diam menghubungi dokter agar segera datang, sampai suara seseorang membuat Axton mengerjap pelan seolah kembali sadar. Ia menoleh perlahan, pandangannya terkunci beberapa saat pada bocah mungil di pangkuan Papanya.
"Mau pulang." Lirih Louise dengan wajah pias juga sorot ketakutan. Louise takut, penampilan dan tingkah laku Axton sungguh seperti orang yang tak waras. Haruskah ia menyesal karena mengiyakan ajakan dari orang yang baru ia kenal?
Tentu saja tidak, BIG NO. Iming-iming hot wheels dengan harga fantastis tersebut membuat Louise lupa akan segala hal. Kapan lagi ia akan mendapatkan barang yang diidam-idamkan banyak orang kini tak disangka akan menjadi miliknya hanya dengan syarat agar ikut bersama orang yang bahkan baru satu jam ia temui. Sepertinya hot wheels fantastis itu harus ia pamerkan ke seluruh kota.Ah bocah kecil seperti Louise mungkin juga akan luluh jika hanya diiming-imingi dengan dua butir permen atau barang receh lainnya.
"CASEY"
"Kakak percaya kau pasti akan kembali."
Axton berjalan gontai ke arah Louise dengan darah di punggung tangan akibat infus yang dicabut paksa. Senyum yang menurut Louise mengerikan kian membuat ia pias di tempatnya. Hingga akhirnya pelukan erat serta kecupan berulang kali yang dilayangkan di dahi juga darah yang ikut menetes di bajunya semakin membuat ia ketakutan.
"Kakak mau pulang hiks."

KAMU SEDANG MEMBACA
BARREY (Hiatus)
Fiksi UmumTentang Louise Faine Barrey, anak laki-laki 12 tahun yang terjebak dalam sebuah keluarga hingga tak bisa menemukan jalan keluarnya. Mereka selalu memastikan Louise ada dalam jangkauannya, ditambah lagi dengan putra ketiga yang mengalami gangguan jiw...