"Kakak mau pulang hiks."
Isakan bocah menggemaskan itu mengalihkan atensi semua orang yang ada di dalam ruangan, bahkan menghentikan Axton yang sedang melayangkan kecupan.
Aaron hendak mengangkat bocah 12 tahun tersebut dalam gendongan, namun dengan sigap Axton menghentikan. Kepergian Casey kini masih menjadi momok menakutkan baginya. Maka dengan hati-hati ia membingkai pipi lembut itu dengan kedua tangan disertai gumaman tanda penyesalan. Menyesal karena mungkin tingkahnya sekarang membuat 'adiknya' ketakutan.
"Casey maafkan kakak membuatmu takut. Berjanjilah jangan tinggalkan kakak lagi, ya?"
hening beberapa saat, sedangkan Louise enggan menjawab. Karena memang ia tak bisa berjanji tentang permasalahan satu ini. Louise hanyalah orang asing yang dipaksa untuk masuk ke dalam kehidupan mereka. Ah, bukan dipaksa. Mungkin bisa jadi Louise juga menyerahkan dirinya demi satu buah hot wheels yang membuat ia terlena. Sial, sekarang Louise merasa benar-benar menyesal.
Telapak besar yang membingkai kedua pipi kini bergerak turun menggenggam kedua tangan Louise, dikecupnya lembut satu- persatu jemari milik bocah menggemaskan itu. Kemudian Axton tempelkan punggung tangan hangat nan kecil itu ke pipinya.
"Kakak menyayangimu Casey, sangat."
" Jangan tinggalkan kakak lagi."
Seolah secercah cahaya kembali datang, kegelapan juga rasa menyesakkan kini hilang tergantikan oleh kebahagiaan yang membuncah di dada. Axton merasa sedang bermimpi. Jika benar, tolong jangan bangunkan ia. Axton rela tidur selamanya jika ada Casey dalam mimpinya. Bahkan ia bersumpah akan membunuh siapapun yang berani membangunkannya.
Ia rasa hari ini adalah hari paling bahagia di antara 3 tahun sebelumnya. Untuk pertama kali ia merasa benar-benar hidup setelah kematian adiknya.
⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️
Seorang ayah pasti mengharapkan yang terbaik untuk putra-putranya, begitupun Aldrich. Ia juga pria yang baru kali pertama menjadi seorang ayah. Aldrich selalu berharap kebahagiaan senantiasa mengelilingi orang-orang yang ia sayang melebihi apapun yang ada di dunia.
Melihat secercah cahaya yang menarik Axton dari kubangan kegelapan, juga sorot bahagia yang terpancar dari kedua netra jiplakan miliknya. Bolehkan Aldrich egois berharap Louise hanya memandang ke arah mereka, bukan kakek ataupun yang lainnya. Ya, hanya mereka. Aldrich dan ketiga putranya.
"Aku ingin pulang, kakek pasti menghawatirkanku karena ini sudah larut malam." Lamunan Aldrich buyar mendengar suara bocah yang sejak tadi mengganggu pikiran, dengan Axton yang menggelengkan kepala berulang pertanda tak mengizinkan Louise pulang.
"Tidak tidak tidak tidak"
"Kau sudah berjanji tidak akan meninggalkan kakak lagi kan?" Hell, sejak kapan diam bisa disebut berjanji. Ia hanya bungkam sedari tadi. Sungguh, orang ini benar-benar tak waras pikirnya. Percuma saja Louise meladeni ucapan melanturnya, dasar orang gila.
diliriknya sekilas Axton yang kini resah dalam posisinya menggunakan ekor mata. Bahkan ucapan Axton barusan ia anggap angin lalu. Persetan dengan keadaan laki-laki itu, sekarang ia hanya ingin pulang mengistirahatkan tubuh yang terasa pegal setelah melewati drama panjang.
"Aku ingin pulang, kakak ingat kan janji kakak tadi siang?" lengkungan senyum yang dipaksakan amat terlihat di wajah yang terkesan menggemaskan. Louise kesal, ia tak tahan berada di sekitar orang- orang aneh yang ada di dalam ruangan.
"one more hour, okay?"
"Tunggu Axton istirahat terlebih dahulu, baru kau bisa pulang tanpa hambatan. Jika tidak, ucapkan selamat tinggal kepada kasur kesayangan." bisikan disertai smirk yang entah mengapa terlihat menyebalkan itu kian membuat Louise naik pitam. Namun tahan, orang tampan juga menggemaskan memang banyak mendapat ujian. Louise harus segera mencari cara ampuh untuk keluar dari ruangan yang membuat kesabarannya hilang. Oh my god! ia tau apa yang harus dilakukan.
"Kak Axton~" Suaranya mendayu menampilkan senyum terbaik yang dipaksakan. Sedangkan Axton yang mendapat serangan keimutan, memegang dada kiri petanda jantungnya berdebar. Entah kapan terakhir Casey bersikap menggemaskan. Axton bahkan tak mempedulikan darah mengering yang ada di punggung tangan. pandangannya hanya tertuju pada mata legam milik Louise.
"Yes dear?"
"Ah istirahatlah dengan baik kak, kakak tak sabar kan untuk segera pulang lalu terbebas dari ruangan dengan bau obat-obatan?" senyum terpaksa masih ia tampilkan, hatinya tak tenang takut Axton menolak apa yang ia katakan. Karena sebenarnya Louise tak pandai membujuk seseorang. Namun demi kasur dengan sprei Lightning McQueen kesayangan, apapun akan ia lakukan.
"As you wish, Casey. Asalkan kau tetap bersama kakak." bergerak menuju ke arah ranjang tak lupa dengan tangan Louise yang berada dalam genggaman. Kepala bocah 12 tahun itu menengok ke belakang, tepatnya Aaron. Mengedipkan mata kiri serta menjulurkan lidah seolah mengatakan.
"You lose, Aaron~"

KAMU SEDANG MEMBACA
BARREY (Hiatus)
Fiksi UmumTentang Louise Faine Barrey, anak laki-laki 12 tahun yang terjebak dalam sebuah keluarga hingga tak bisa menemukan jalan keluarnya. Mereka selalu memastikan Louise ada dalam jangkauannya, ditambah lagi dengan putra ketiga yang mengalami gangguan jiw...