Chap.20 A Retless Morning

151 41 9
                                    

Pagi yang tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi yang tenang.

“ ... ”

BRAKK!

“POOM!!”

Ah! Apa itu pagi yang tenang kalau saat ini Billy masih bergelung di atas ranjang sembari menutup kedua telinganya menggunakan bantal yang ditekuk. Ya, wajar memang karena suara-suara perdebatan Babe dengan seseorang tiba-tiba saja menyeruak masuk dan mengganggu tidur tenangnya yang nyaman.

“SUDAH KUBILANG TIDAK PERLU MENJEMPUTKU!”

“TAPI AKU JUGA TIDAK MAU KAU DATANG TERLAMBAT DAN BERAKHIR DIPECAT BABE!!” Sosok dalam sambungan telepon tak mau kalah dan ikut berseru mengimbangi nada tinggi yang Babe serukan. “INGAT! AKU TIDAK MAU REPOT-REPOT DAN SUSAH PAYAH MENCARIKANMU PEKERJAAN LAGI KALAU KAU DIPECAT.”

“Kau tenang saja. Aku tidak akan terlambat, Poom. Aku sedang bersiap-siap sekarang. Lagi pula ini masih jam 6 pagi, masih ada waktu untuk sarapan sebelum pergi ke kantor.”

“BABE!!! KENAPA KAU KERAS KEPALA SEKALI, SIH?!!”

“Jangan teriak-teriak, Poom. Ini masih pagi. Aku tidak mau budeg mendadak.”

“MANA ADA YANG SEPERTI ITU?!! POKOKNYA TUNGGU, JANGAN PERGI SEBELUM AKU JEMPUT.”

Babe menghela napas mendengar ucapan kekeh Poom yang pantang menyerah dengan mudah. Namun, ia pun tidak ingin sang sahabat sampai tahu kalau bosnya ada di sini, di tempat tinggalnya. Jadi Babe mulai mengeluarkan jurus andalan yang bisa meluluhlantakan pertahanan dan keras kepalanya seorang Poom.

“Eumnn, Poom~” panggil Babe dengan nada lembut dan mendayu-dayu manja.

Billy yang semula masih sibuk menutup kedua telinga dengan menggunakan bantal pun seketika bangun mendudukkan diri dan menatap ke arah pantulan kaca di mana raut muka Babe terpampang dengan rahang jatuh dan mulut terbuka lebar.

Terkejut? Ya, tentu saja.

Siapa yang tidak terkejut melihat ekspresi wajah dan  mendengar nada menggemaskan seperti itu meluncur dari celah bibir lelaki yang biasanya hanya sanggup bicara ragu-ragu sembari menundukkan kepala. Jika dilihat-lihat, ekspresi itu seperti anak kucing manis yang minta dimanja.

“Poom~ aku bisa berangkat sendiri. Aku mohon, tidak perlu menjemputku~ ya, ya, ya~”

Sambungan itu senyap bak sudah terputus, tetapi saat Babe melirik ponselnya itu masih tersambung karena nama Poom lengkap dengan emoticon kepala kucing terpampang jelas pada layarnya. Sesaat kemudian, barulah suara dehaman ringan diikuti jawaban yang diinginkan Babe pun meluncur mulus dan membuatnya bersorak riang dalam hati.

“Ekhem! Baiklah. Tapi ingat! Jangan terlambat. Kalau sampai hari ini kau terlambat, besok aku akan menginap di apartemenmu.”

“Iya-iya,” sahut Babe refleks menganggukkan kepala. Padahal sosok di seberang sambungan sana, mana mungkin tahu apa yang ia lakukan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Caddy BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang