Komandan Hurukasan berdiri dengan tegas di hadapan Raja Rakai Kayuwangi, melaporkan kerusakan yang terjadi di wilayah Payuh. Desa-desa hancur, rumah-rumah terbakar, dan banyak nyawa melayang. Serangan itu, menurut laporan, bukan hanya tindakan liar bandit, melainkan serangan terencana yang dilakukan oleh pasukan dari kerajaan Kalukung. Para pejabat yang berkumpul di istana merasakan ketegangan yang menggantung di udara.Raja Rakai Kayuwangi mendengarkan dengan seksama, namun wajahnya perlahan berubah marah. Berita bahwa musuh lama telah melancarkan serangan di wilayahnya, membakar desanya dan menewaskan rakyatnya, menyulut bara dalam hatinya. Ia sudah lama mencurigai Kalukung, tetapi tindakan ini melampaui batas. Rasa murka mulai menguasai dirinya, namun ia tetap menjaga wibawanya di hadapan para pejabatnya.
Dengan suara dalam yang terkontrol, Raja berkata, "Kalukung telah melangkahi batasnya." Kata-kata itu membawa suasana mencekam di dalam ruangan. Para pejabat dan panglima di sekitarnya saling bertukar pandang, mengetahui bahwa tindakan besar sedang direncanakan. Perang sepertinya sudah tidak terhindarkan. Raja Rakai Kayuwangi bertekad untuk membalas tindakan Kalukung dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya yang menderita akibat serangan tersebut.
Komandan Hurukasan, yang dikenal karena kecerdikannya dalam strategi militer, maju selangkah. "Ampun, Yang Mulia," katanya dengan nada tenang namun tegas, "kita tidak boleh terburu-buru dalam mengambil langkah balasan. Meskipun tindakan Kalukung sangat keterlaluan, gegabah bisa membawa kita pada kerugian yang lebih besar."
Raja Rakai Kayuwangi yang masih tersulut amarahnya, menatap Komandan Hurukasan dengan tatapan penuh pertimbangan. "Apa yang kau sarankan, Hurukasan?" tanya Raja, meskipun jelas bahwa dalam dirinya ada dorongan kuat untuk segera bertindak.
Komandan Hurukasan menundukkan kepalanya sejenak, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Yang Mulia, kita harus mengumpulkan informasi lebih lanjut. Mengetahui kekuatan dan niat mereka secara pasti sebelum mengirimkan pasukan kita. Serangan balik yang terencana akan lebih efektif daripada ledakan kemarahan sesaat. Kita juga perlu mempertimbangkan dampak diplomatik dari tindakan kita."
Para pejabat lain yang hadir di ruangan itu saling berbisik pelan, merasa usulan Hurukasan masuk akal. Meskipun keadilan harus ditegakkan, strategi yang matang akan memastikan kemenangan yang lebih pasti dan kerugian yang lebih sedikit bagi pihak mereka.
Raja Rakai Kayuwangi menarik napas dalam, memikirkan kata-kata Komandan Hurukasan. Tekad untuk membalas tetap ada, namun ia mengerti pentingnya kehati-hatian.
Saat suasana di ruang pertemuan mulai tenang, pintu besar keraton terbuka. Dua prajurit kerajaan yang gagah membawa seorang bandit yang tertangkap hidup-hidup. Kondisi bandit itu terlihat lusuh, bajunya robek, dan luka-luka memenuhi tubuhnya. Ia dipaksa berlutut di depan Raja Rakai Kayuwangi, yang menatapnya dengan mata penuh kemarahan dan wibawa.
Para pejabat yang hadir dalam pertemuan itu langsung memusatkan perhatian pada bandit tersebut, sementara Komandan Hurukasan berdiri di samping Raja, mengamati dengan tajam. Raja Rakai Kayuwangi tidak segera berbicara, membiarkan keheningan itu memberi tekanan lebih pada tahanan.
Bandit yang tertangkap itu menunduk, gemetar di hadapan kekuatan besar yang kini menghakiminya. Dalam hatinya, ia tahu tidak ada lagi jalan keluar, tetapi ia juga menyadari bahwa nyawanya bisa dipertaruhkan untuk mendapatkan lebih banyak informasi penting tentang rencana dan kekuatan musuh.
Raja Rakai Kayuwangi akhirnya berbicara, suaranya dalam dan tegas, "Katakan padaku, siapa yang mengirimmu dan apa rencana selanjutnya? Sebelum aku memutuskan nasibmu."
Bandit itu masih diam, bibirnya gemetar namun tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Keringat dingin membasahi wajahnya yang semakin pucat. Dia tahu bahwa sedikit saja kesalahan bisa menjadi akhir dari hidupnya. Namun, ketakutan yang menahan lidahnya tidak kalah besar dari rasa takut terhadap atasannya di luar sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tertuju Padamu (BL) Ongoing☑️
Historical FictionSebelum fajar, angin bertiup di pipiku Suara mu Aroma mu membungkus dan mengisi segalanya "Aku mulai mencintaimu tepat di pertemuan kedua kita, kamu mungkin tidak mengingat aku pada waktu itu tetapi tanpa kau sadar bahwa mata kita pernah menatap sa...