Sesampainya di depan gerbang, Amar menyerahkan tumpukan kayu di punggungnya kepada salah satu pelayan yang sudah menunggu. Ia menyuruh mereka untuk menyimpannya di gudang, kemudian menepuk bahu Nandru, mengisyaratkan agar dia ikut masuk ke dalam. Nandru sempat terpana saat melangkahkan kaki melewati gerbang besar itu. Rumah keluarga Amar ternyata lebih megah dari yang ia bayangkan. Halaman luas, dipenuhi dengan tanaman hijau yang tertata rapi, dan beberapa bangunan kayu berdiri kokoh di sekitarnya, masing-masing dihiasi ukiran khas yang begitu indah. Nandru merasa seakan memasuki dunia yang lain, sebuah tempat yang berbeda jauh dari kesederhanaan yang biasa ia kenal.
"Selamat datang di rumahku, Nandru," kata Amar sambil tersenyum bangga. Dia terlihat senang bisa memperlihatkan rumah keluarganya kepada Nandru. Bagi Amar, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan sisi kehidupannya yang mungkin belum pernah diketahui Nandru sebelumnya.
Di depan pintu utama, mereka disambut oleh Nyai Ratih, ibu Amar. Wanita paruh baya itu menampilkan senyum ramah yang membuat wajahnya tampak begitu lembut. Dengan gerakan anggun, Nyai Ratih mendekat dan menyapanya, “Sudah pulang Adimas?,dan ini siapa? Sepertinya biyung Sudah lama tidak melihatmu membawa teman ke sini.” Suaranya tenang dan penuh kehangatan.
"Perkenalkan biyung, dia Nandru" Amar memperkenalkan Nandru.
"Pemuda yang tampan!", sapa singkat Nyai Ratih
"Terima kasih, Nyai," jawabnya sambil membungkukkan tubuh, tanda hormat.
Setelah beristirahat sejenak, Amar mengajak Nandru menuju ruang makan. Meja makan di rumah itu besar dan panjang, penuh dengan hidangan yang sudah disiapkan. Saat mereka duduk, Nyai Ratih mengatur agar Nandru duduk di samping Amar, memastikan tamu itu merasa nyaman di antara keluarga. Suasana makan malam pun dimulai dengan khidmat. Nyai Ratih sesekali melontarkan pertanyaan ringan kepada Nandru, ingin tahu tentang bagaimana ia dan Amar bisa berteman, serta sedikit cerita tentang keseharian Nandru. Percakapan itu mengalir lancar, membuat Nandru sedikit lebih rileks.
Namun, kehangatan itu perlahan berubah saat suara berat terdengar dari ujung meja. “Wahai pemuda, kamu berasal dari keluarga mana?” Mpu Janggar, bertanya dengan nada serius. Pandangannya tajam, seakan menelisik jauh ke dalam mata Nandru.
Pertanyaan itu seolah menghentikan percakapan lainnya. Nandru menelan ludah, sedikit gugup. “Saya... berasal dari desa kecil di tepi hutan,” jawabnya sopan, berusaha tetap tenang.
Mpu Janggar menatap Nandru dengan tatapan yang sulit ditebak, sementara suasana di ruang makan berubah menjadi tegang. Nyai Ratih tersenyum tipis, mencoba mengalihkan suasana. “Kakang handa, Nandru adalah teman baik Amar. Mari kita makan dengan tenang malam ini.”
Namun Mpu Janggar tidak bergeming. “Aku hanya ingin tahu, apa yang membuatmu berteman dengan anakku? Apa kamu tahu, siapa keluarganya?”
Amar terlihat tidak nyaman. “Bopo, Nandru adalah temanku. Kami saling membantu, itu saja,” katanya, mencoba menenangkan situasi. Tapi Mpu Janggar tidak melepaskan pandangannya dari Nandru, seolah ingin memastikan bahwa jawaban yang ia dengar adalah kebenaran mutlak.
Selepas makan malam, suasana yang tegang di meja makan masih membekas. Mpu Janggar dengan ekspresi datar bangkit dari kursinya dan tanpa banyak kata menyuruh Amar mengikutinya ke sebuah ruangan lain di dalam rumah. Amar, yang merasa ada yang tidak beres dari cara ayahnya memandang sepanjang makan malam, tidak punya pilihan selain menurut.Setelah memasuki ruangan yang lebih kecil, Mpu Janggar memastikan pintu tertutup rapat sebelum berbalik dan menatap putranya dengan dingin. Tanpa peringatan, sebuah tamparan keras menghantam pipi Amar. Tubuhnya terhuyung, dan rasa perih di pipinya membuatnya terdiam sesaat, namun tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dan kemarahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tertuju Padamu (BL) Ongoing☑️
Historical FictionSebelum fajar, angin bertiup di pipiku Suara mu Aroma mu membungkus dan mengisi segalanya "Aku mulai mencintaimu tepat di pertemuan kedua kita, kamu mungkin tidak mengingat aku pada waktu itu tetapi tanpa kau sadar bahwa mata kita pernah menatap sa...