Tentang Kita (8)

1 0 0
                                    

Gue waktu itu lagi radang tenggorokan. Salah gue sendiri sih. Makan es krim sampe 5 stick. Terus kurang minum air putih.

Jadinya gue dikamar aja tiduran. Kedengeran diluar Ibu udah ngomel-ngomel kenapa gue nggak peduli sama badan gue lagi.
Yeee. Emang kenapa. Kan es krim enak. Apa susahnya bilang karena makan kebanyakan aja? Bukan karena gue nggak peduli sama tenggorokan gue?

Akhirnya gue telpon Jongin. Begitu dia angkat, dia nggak ngenalin suara gue hahahaha.
Padahal mah cuma serek dikit doang. Gue lalu bilang kalo gue lagi radang. Habis itu suara ngakaknya yang cempreng itu kedengeran.
"Iya ngakak aja terus sampe kuping gue sakit."
"Hahahaha. Kenapa kayak bocah banget sih put?"
Lah.....nggak tau??
Emang bocah aja yang bisa gini?

Selanjutnya yang gue inget kita jadi saling ngolok (lagi).
Gue bahas aja waktu dia makan sereal pake kerupuk. Waktu itu emang oon banget sih dia. Dia punya kebiasaan begitu bangun tidur makan sereal. Tapi waktu itu, entah nyawa masih dikumpulin, dia salah nyampurin susu dengan.........kerupuk yang Bi Daning goreng kemaren.

Dia langsung ngomong betapa candunya gue sama permen alpenliben rasa stroberi. Yang gue makan kayak makan nasi. Bisa seharian. Kalo nggak diingetin punya tenggorokan bisa berhari hari gue makan itu. Gak inget nasi lagi.

Dia langsung ketawa. Tapi gue enggak. Karena gue tiba-tiba nyadar satu hal.
Dia sekarang jadi kenal gue, seperti gue mengenal diri gue sendiri.
Dia udah hapal semua kebiasaan gue, hal yang yang gue suka dan nggak, semuanya dia sekarang tau.
Dan anehnya, kita belum ada setahun temenan.
Tiba-tiba gue deg-deg an nggak tau kenapa.

Suara ketawa Jongin masih kedengeran. Gue pengen ngomong.
"Jongin?"
"Iya put?"
" Gue dipanggil Ibu buat minum obat. Bentar ya. Gue telpon lagi?"
"Gak usah. Gue aja yang telpon lo."
Deg.
Nah kan.
Kok jadi gini?
Ini radangnya ngalir sampe jantung ya?
"O-oke."
Gue bengong.
Seketika gue familiar sama situasi kayak gini.
Bentar.........nggak mungkin gitu kan?
Gue pegang pipi gue.
Gak ada masalah kan?
Hahahahaha.
Ini nggak mungkin.

Lalu obrolan masih berlanjut lagi begitu gue udab minum obat. Tapi, gue gak inget semua. Yang gue inget cuma itu. Dia yang tau cerita gue detail.
Terlalu detail malah.
Obrolannya masih menyenangkan lah seperti biasa.
Hingga gue gak sadar gue nyampe pada satu titik yang gue gak sangka bakal ada diantara kita.
Gue suka sama Jongin kali ya?

----------------------------------------------------------------

"Itu pertama kalinya gue anteng banget nelpon cewek."
Gue langsung nengok ke Jongin. Masih senyum-senyum.
Apasih? Kok dia seneng banget?
" Dan gue nyadar kalo lo juga punya sisi kenakak-kanakan." Lalu dia ngelus-ngelus kepala gue.
Heh, gue bukan kucing ya.
"Iya. Dan itu yang buat gue punya kantong mata besoknya."
Dia ngakak lagi.
Gue makin heran.
Emang lucu ya?

Gue tetep diem aja.
Sebenernya gue juga seneng malem itu.
Tapi gue bingung, Jongin.
Lo nyadar nggak ini ada yang aneh?
Apa cuma gue lagi yang ngerasain?

"Put."
Jongin tiba-tiba pindah posisi menghadap ke gue. Mau gak mau gue lihat matanya. Dan kayaknya, dia mau ngomong sesuatu.
"Kita harus bicarain sesuatu."
Gue menelan ludah. Mukanya berubah serius.
"A-apa?"
"Gue minta maaf." Dia lalu menarik tangan gue. Dan memegangnya.
Gue? Gue hampir nahan nafas. Rasanya gue mau lepas tangannya tapi tangannya kerasa anget banget buat gue nyaman.

"Lengan lo pasti masih sakit."
Dia tau.
"Maaf ya gue marah sama lo tadi."
"I-itu yang mau gue tanya."
"Tanya apa?"
Suara gue langsung menciut. "Kenapa.....lo semarah itu sama gue?"
Dia gak jawab.
" Apa....gue sesalah itu ya sama lo?"
Dia masih diem. Tatapannya masih lurus ke gue.
"Gue bikin lo sedih ya?"

Jongin malah senyum. Tapi gue semakin yakin gue bener buat dia sedih.
"Lo pernah bilang ke gue, kalo lo orang yang peduli. Tapi lo gak tau cara untuk ungkapin gimana."
" Dan lo pernah bilang, lo bisa baca situasi, dan lo bisa paham tentang apa seseorang rasain. Lo bisa ngertiin itu."
Iya. Gue pernah bilang kayak gitu. Karena waktu itu cerita bahwa dulu gue sering berhati hati ngomong sama Calvin karena gue tau dia marah atau lagi jengkel. Walaupun dia nggak nunjukin sama sekali.
Gue bisa seperhatian itu sama orang yang gue sayang.
"Tapi," Dia ngomong lagi. Dan gak tau kenapa gue rasa makin deket di muka gue. "Kenapa lo gak bisa ngerti, kalo gue suka sama lo?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kayaknya, gue tambah pucet.

Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang