Prolog

39 4 0
                                    

Tidak ada yang lebih menyedihkan ketika seseorang merindukan sahabatnya yang telah tiada.

Arkais termenung di depan lemari buku—menatap lamat pigura yang menggambarkan dua sosok bocah laki-laki yang saling merangkul—ketika baru saja keluar dari toilet. Tubuhnya pun hanya diselimuti oleh kain handuk sebatas pinggang. Medali emas yang baru saja dia dapatkan dari perlombaan London Marathon dia yakini ada campur tangan dari doa sahabatnya, Ervan. Tanpa sengaja, air mata Arkais pecah saat dadanya disesaki oleh gumpalan kesedihan. Lebih terparah kalimat-kalimat pengandaian.

Andai saja dia tidak kabur hari itu, pasti Ervan tidak akan semaput mencarinya menggunakan Alphard dengan kecepatan super kencang. Andai saja dia membalas telepon Ervan, pasti Ervan bisa tenang dan fokus terhadap acara masak-memasak di salah satu stasiun televisi yang harus dia lakukan saat itu juga. Andai saja dia tidak me-reject panggilan Ervan, pasti kini Ervan baik-baik saja, tertawa di sampingnya dan memukul bahunya berkali-kali.

Namun, kini Ervan telah tiada. Penyesalan yang membelesak hanya terus membuat dadanya semakin hancur. Arkais perlahan meraih piala yang dia dapatkan hanya untuk melemparnya sekencang mungkin ke dinding hingga membuat piala itu pecah. Kemudian, Arkais teriak parau. Air matanya mengucur begitu deras. Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan perpisahan yang begitu pahit di hidupnya? Apakah kehilangan kedua orangtua belum cukup menyedihkan untuknya? Kenapa harus Ervan pula yang pergi?

"Cing, gue kalau udah gede mau jadi koki di kapal pesiar!"

Arkais yang saat itu sedang melakukan stretching hanya tertawa pelan. "Kenapa harus di kapal pesiar kocak?"

"Lo nggak akan tau seindah apa laut biru di malam hari. Lo nggak akan tau rasanya melayani orang-orang berduit. Lo nggak akan tau rasanya dihormati karena bisa bikin orang-orang kenyang. Dan satu lagi, gaji jadi koki di sana itu fantastis. Gue bisa deh bantu lo beli rumah biar lo nggak ngerasa kecil terus di rumah gue."

Seringai Arkais berubah menjadi senyuman. "Gue bisa beli rumah sendiri kok. Lo tau sendiri gue atlet marathon kebanggaan sekolah."

"Kalau gitu yaudah, kita bikin rumah aja bareng-bareng."

Arkais langsung memukul pelan bahu Ervan. "Najis. Nggak. Gue nggak mau serumah lagi sama lo! Apa-apaan banget. Dikira gue cowok apaan?!"

Melihat ekspresi jijik Arkais, Ervan malah semakin mendekatkan kepalanya ke dada Arkais kemudian menoel pinggang lelaki itu. "Oh ayolah. Masa cicing nggak mau serumah sama maumau?"

"ERVAN BANGKE! PERGI LO JAUH-JAUH!"

"IH CICING KOK JAHAT SAMA MAUMAU SIH? ENTAR MAUMAU NANGIS NIH!"

Seketika itu juga Arkais menggunakan kaki bersayapnya untuk berlari meninggalkan Ervan di lapangan. Kakinya sudah sangat terlatih dalam urusan menjauh dari sikap Ervan yang tidak terduga. Di belakangnya Ervan tetap mengejar, tapi diam-diam Arkais mengamini setiap keinginan Ervan tadi.

"Van, gue nggak bisa nerima lo pergi begitu aja. Mau gue temenin nggak?" Arkais tersenyum kecil. Kali ini fokusnya beralih pada polesan langit yang terpampang jelas lewat jendela yang terbuka. Apartemennya berada di lantai 27, sehingga perasaan bersalah Arkais menciptakan satu keinginan itu.

Dia ingin bunuh diri.

"Nggak ada yang bisa gue banggakan lagi, Van. Dunia gue hancur. Media sialan dan para pejabat itu cuma akan memanfaatkan gue. Nggak ada yang bisa memahami gue selain lo, Van." Arkais melihat sekilas bayangan Ervan di atas langit. "Gue juga mau tenang kayak lo, Van. Lo pasti udah ketemu bidadari di sana. Boleh gue nyusul, kan?"

"Gue akan selalu sayang sama lo, Ka. Lo tau sendiri gue pengin punya anak sama lo. Gue bahkan udah beli banyak buku pra-nikah supaya kita bisa berkembang biak dengan cara yang baik! Jadi, gue mohon, bertahanlah."

Sepenggal ucapan gadis freak itu mendadak hadir di kepalanya. Tidak terduga. Di luar kendali. Arkais lantas juga dikejutkan dengan gedoran pintu serta suara bel apartemennya berkali-kali.

"Arkais! Sayang! Buka pintunya atau aku dobrak paksa pintu ini?! Aku beda dari cewek-cewek lain, ya! Aku nggak suka seblak, makananku selalu yang bergizi! Aku juga nggak pernah minum alkohol! Jadi, aku masih punya kekuatan buat ngehancurin pintu ini!"

"Damn. That's piglets."

Arkais kembali menatap langit.

"Tolong, jaga dia untuk gue. Cing."

[]

Cast :

Arkais Rangga Pratama


Ervan Fernando Antares

Ervan Fernando Antares

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Revela Laksono

mohon doakan lancar nulis cerita ini!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Remember WhyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang