Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Kaffandra melihat mobil ayahnya parkir di depan gerbang sekolahnya. Kaffandra segera menghampiri Ayahnya, Hafiz, yang duduk di dalam mobil dengan wajah lega melihat putranya berjalan mendekat. Meski hari pertama di SMA sering kali dianggap menegangkan bagi banyak siswa, Hafiz sudah bisa membaca dari langkah dan senyum Kaffandra bahwa hari ini berjalan baik.
“Gimana hari pertamanya, Dek?” tanya Hafiz begitu Kaffandra masuk ke dalam mobil.
Kaffandra meletakkan tasnya di kursi belakang dan langsung menghela napas lega. “Seru banget, Yah! Aku sekelas lagi sama Alan dan Wildan. Aku nggak nyangka bakal sekelas lagi sama mereka!”
Hafiz tertawa kecil. “Ayah udah duga kamu bakal senang kalau bareng mereka lagi. Gimana suasana kelasnya? Wali kelasnya gimana?”
“Wali kelasnya baik banget tau, Yah. Tadi kita sempat perkenalan dulu. Banyak juga teman baru yang kelihatannya seru,” jawab Kaffandra antusias, sambil membenarkan sabuk pengamannya. “Tapi katanya SMA itu bakal banyak tugas ya, Yah?"
Mendengar itu, Hafiz langsung menoleh sambil tersenyum penuh perhatian. “Tugas mah pasti ada aja Dek, namanya juga proses belajar pasti ada evaluasinya. Tapi Ayah yakin, kamu pasti bisa ngejalaninnya, yang penting kamu jangan terlalu memforsir diri, ya. Harus jaga kesehatan, apalagi kamu ada asma Dek.”
Kaffandra mengangguk sambil tersenyum. Ia tahu bahwa meski ayahnya sering mengingatkan hal yang sama berulang-ulang, semua itu karena rasa sayang dan perhatian. “Iya, Yah. Aku juga bakal lebih hati-hati. Ada Alan sama Wildan juga, mereka sama bawelnya kayak Ayah," jawab Kaffandra seraya terkekeh kecil.
Perjalanan pulang berakhir dengan tawa kecil antara ayah dan anak. Jalanan sore itu cukup lengang, hanya sesekali mobil dan motor melintas di depan mereka. Kaffandra menikmati pemandangan dari balik kaca mobil, mengamati jalan-jalan yang sudah sangat akrab baginya. Sesekali ia teringat percakapan dan canda tawa bersama teman-temannya di sekolah tadi. Rasanya seperti hari pertama yang sempurna — penuh kebahagiaan, persahabatan, dan harapan akan masa depan di SMA.
Setelah sekitar 20 menit perjalanan, mobil mereka memasuki kompleks perumahan yang teduh dan rimbun. Kaffandra bisa melihat rumahnya dari kejauhan, bersebelahan dengan rumah kakek dan neneknya yang selalu membuatnya merasa nyaman. Setiap kali ia pulang, rasanya seperti memasuki tempat yang penuh kehangatan dan cinta, sebuah tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa tekanan.
Mobil berhenti di depan rumah dan Kaffandra segera turun. Hafiz mematikan mesin mobil dan ikut keluar, berjalan berdampingan dengan putranya menuju pintu depan. Begitu pintu terbuka, aroma masakan langsung menyeruak, membuat perut Kaffandra yang sudah lapar semakin bergejolak.
Bunda-- Sasa, sudah menunggunya di ruang tamu dengan senyum lebar. “Udah pulang, Sayang? Gimana hari pertama di SMA?”
Kaffandra langsung memeluk bundanya, seperti kebiasaannya setiap kali pulang sekolah. “Bun, seru banget! Aku sekelas lagi sama Alan dan Wildan. Teman-teman baru juga seru. Terus wali kelas aku juga baik banget!”
Sasa tertawa kecil sambil mengelus punggung putranya. “Syukurlah kalau begitu. Kamu pasti capek dan lapar, kan? Bunda udah siapin makan buat kamu.”
Mendengar itu Kaffandra langsung teringat betapa laparnya dia. “Iya, Bun, lapar banget. Bunda masak apa deh kok harum begini?”
Sasa tersenyum misterius. “Coba tebak dulu.”
Kaffandra mencoba mengendus-endus aroma dari dapur. “Hmm, kayaknya ada ayam goreng, ya?”
Sasa mengangguk. “Betul! Ada ayam goreng kesukaan Adek, sayur asem, dan sambal terasi kesukaan Ayah.”
“Mantap!” seru Kaffandra, matanya berbinar. Tanpa pikir panjang, Kaffandra langsung menuju ruang makan meninggalkan ayah dan bunda yang memandangnya penuh arti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Beribu Afeksi
Teen FictionKafffandra Rakana Aksradana; Anak tunggal kaya kasih sayang.