-six

3.9K 332 1
                                    

Setelah Axton terlelap, Aaron benar-benar menepati janjinya mengantar Louise pulang. Koenigsegg CC8S hitam melaju pelan di jalanan yang kini mulai sepi hingga kendaraan yang berlalu lalang bahkan bisa dihitung dengan jari.

Untuk beberapa saat keheningan menyelimuti. Axton sibuk dengan pikirannya yang melayang sementara Louise dengan kantuk yang tak kunjung hilang. Dipandangnya jalanan melalui kaca jendela agar ia tetap sadar.

" Katakan dimana rumahmu."

" Sekitar tiga kilometer lagi, rumah nomor 389 yang berada di ujung jalan." Entah mengapa hari ini terasa sangat melelahkan. Begitupun dengan hatinya yang tak tenang. Beban di pundak kecilnya seolah semakin bertambah. Helaan nafas berat ia hembuskan, mengundang lirikan Aaron yang sedang fokus pada jalanan.

"Kakak rasa kau sudah mengantuk, hm?"

"Tidurlah Louise, kakak akan membangunkanmu ketika sudah sampai rumah." Tak ada suara yang keluar, kesadaran bocah 12 tahun itu sedikit demi sedikit berkurang. Senyum tipis Aaron berikan juga usapan lembut pada rambut yang terasa halus di telapak tangan.

⬇️⬇️⬇️⬇️


Rumah bercat putih gading yang dimaksud Louise kini terlihat sepi, entah sudah ditinggalkan sejak pukul berapa. Namun yang jelas, lampunya bahkan mati. Diangkatnya Louise yang terlelap ke dalam gendongan koala, lalu ia curi satu kecupan di bibir yang sedikit terbuka.

"My sweetheart."

Diraihnya knop pintu yang ternyata tak dikunci, tidak lupa ia tekan saklar yang remang- remang terlihat saat pintu terbuka. Namun sepertinya cahaya lampu mengganggu tidur anak laki laki dalam rengkuhannya. Louise memang tipe orang yang ketika tidur sangat sensitif dengan cahaya. Maka dari itu, matanya terbuka saat lampu menyala.

Diletakkannya Louise di atas sofa dengan hati-hati. "Sepertinya tak ada orang sama sekali."

Buru- buru Louise edarkan pandangan ke seluruh ruangan, namun seperti tak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan eksistensi James tak ia temukan. Hingga beberapa saat dering telepon rumah mengalihkan pikirannya yang melayang entah kemana. Buru-buru Louise mengangkat guna mengetahui siapa gerangan yang menelfonnya malam malam.

"Halo?"

"Halo Louise ini aunty." Suara lembut yang ia kenal menyapa indera pendengaran. Namun entah kenapa, bukannnya tenang yang ia terima melainkan resah yang menyesakkan dada.

"Apakah kau sudah pulang?, aunty dengar kau tak pulang sejak tadi siang."

"Louise sudah pulang, tapi kakek tak ada di rumah. Apakah aunty tau dimana kakek sekarang?"

"Lou sebenarnya itu yang ingin aunty sampaikan, tolong dengarkan dulu ya?"

"Kakek James menjadi korban kecelakaan, tadi ia sempat mendengar kabar bahwa kau menghilang. Mungkin ia sangat khawatir mengetahui hal itu, lalu buru-buru mencarimu."

"Menurut saksi di tempat kejadian, kakekmu hendak menyebrang namun naas, mobil yang melaju kencang menghantam tubuhnya hingga terpental ke tengah jalan."

"Kakek James segera mendapat pertolongan, dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit terdekat."

"Tapi dokter mengatakan bahwa..." hening beberapa saat, rasannya Gracella tak mampu mengatakan hal yang menyakitkan pada bocah 12 tahun itu. Hela nafas panjang ia hembuskan guna meredam isakan yang mati-matian ia tahan, sementara Louise berdiri kaku dengan perasaan tak karuan.

"Kakekmu tak bisa diselamatkan."

Telepon yang ia genggam terjatuh menghantam dinginnya lantai rumah. Pandangannya buram dengan kepala berputar. Ia harus menjaga kesadaran walau dengan sofa yang dijadikan tumpuan tangan.

Orang yang teramat ia sayangi kini pergi akibat kecerobohan yang lagi-lagi ia lakukan. Sungguh, jika ia tak tergoda dengan hot wheels sialan itu kakeknya tak akan meninggalkannya sendirian, jika ia menolak ajakan Aaron lalu tak berada dalam keluarga aneh itu kakeknya pasti tak akan mengalami kejadian mengerikan. Pikirannya teramat kalut. Sangat sakit rasanya, seolah pisau tak kasat mata menggores dalam hingga menimbulkan luka menganga di hatinya.

Louise tak bisa membayangkan rasa sakit yang dialami kakek kesayangannya. Sial sial sial, rasa benci pada Aaron dan keluarganya kini perlahan menggerogoti hati, perasaan muak ia rasakan. Memandang wajah Aaron saja mengingatkan kebodohannya karena mematuhi titah orang yang baru dikenal. Ya, walaupun juga karena hot wheels impian. Tapi tetap saja, menurut pemikirannya Aaron adalah awal mula dari masalahnya. Jika saja Aaron tak memberikan iming-iming yang membuatnya terbuai, semuanya tak akan terjadi.

"Sudah selesai kan? aku  sudah sampai rumah dengan selamat, sekarang waktunya kak Aaron pergi, terima kasih." Sialan, walau hatinya kini sedikit tertutupi rasa benci yang menyesakkan, namun suara keras rasanya tak mampu ia keluarkan. Didorongnya keluar Aaron yang menatap dengan sorot kekhawatiran, disusul dengan bantingan pintu pertanda Aaron diusir terang-terangan.

"Fuck."

BARREY (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang