"Sejujurnya, aku sudah menikah di Australia sana. Maaf ...." kataku dengan jantung berdebar debar. Gak bahaya ta, iki? Batinku.
"Oh, tidak ...." ucapnya pelan dan dia pun mulai menangis. Kedua tangan gadisku ini menutupi wajahnya dan aku tak tahu harus bicara apa lagi. Duh, sejujurnya ... aku juga tak mau berterus terang begini. Tapi bagaimana? Di sana cewenya cantik-cantik. Bodinya bagus-bagus kek di pilem-pilem. Halum-halum lagi.
Eh, apa aku bohong saja, ya? Dua tahun merantau di sana ternyata imanku goyah juga. Pacarku yang ini cantik dan seksi, sih. Tapi, biru mata si Juliet mengalahkan keindahan dia. Pacar aussieku itu memang terbaik dari semuanya.
"Hey, Sayang." kataku lagi. Aku elus pelan bahunya. Dia menepis jariku. Aku elus lagi, dia tepis lagi. Aku elus lagi? Eh, dia tepis lagi. Tiba-tiba ada yang tertawa. Brengsek! Siapa, ya, yang tertawa itu? Aku melihat ke kanan dan ke kiri tidak ada orang. Kamar ini cuma ada aku dan dia. Aku coba lihat ke jendela. Oh, rupanya ada kakak kunti sedang berbicara tanpa suara ke aku. Dia bilang. "Mampus, Lu ...." Oh, dasar mahkluk gak jelas. Untung kasihku ini tak bisa melihat dan mendengar dia bicara apa. Oh, ya. Kakak kunti itu sebutanku untuk teman dumayku yang perempuan. Maaf ya buat yang baca?
"Aku bercanda tadi. Aku belum menikah, kok. Aku hanya prank kamu. Gitu ajah marah?"
Gadis ini terbelalak. "Apa katamu?" Dia melotot dan berteriak. "Tidaaaakkkk!"
Lha, sekarang dia malah menangis sejadi jadinya. Tubuhku dipukuli berkali kali. Susah payah aku melindungi badanku. Malah dia sekarang guling guling di lantai. Rambutnya juga dijambakk jambakk sendiri. Kau ini kenapa, sih? Harusnya bahagia, kan? Kok semakin seru tangisnya, batinku.
"Kamu kenapa, sih? Harusnya kamu hepi, dong, aku cuma berbohong? Kamu kenapa? Hey!" tanyaku. Kupegangi tubuhnya, dia malah berteriak lagi.
"Kamu tahu, tidak?!!! Huhuhu ...!"
"Kenapa?"
Dia masih menangis. Aku biarkan saja. Toh, ntar kalau capek lama-lama juga berhenti. Setelah beberapa saat, dia menerima tisu yang kusodorkan. Berdehem sebentar dan mulai berbicara.
"Awalnya memang aku sedih kamu cerita sudah menikah dengan cewe bule di sana. Yah namanya jodoh gimana, kan? Aku juga tak bisa memaksamu untuk nikahi aku."
"Terus?"
Diambilnya sebuah tisu dari tanganku. Diusapkan ke muka dan terakhir dia buang ingusnya di situ.
"Nah, dalam hati yang paling dalam aku sudah memaafkanmu. Aku ikhlas beneran. Aku rela. Terus terpikirkan; seandainya kamu bisa kenalin aku ke teman istrimu gimana? Yang ganteng gitu? Kan aku juga pengen ngerasain bule?"
Diambilnya lagi sebuah tisu dari tanganku.
"...."
"Bule kan penampilannya beda? Ya kulitnya. Rambutnya. Matanya. Hidungnya. Ganteng-ganteng juga. Badannya tegap-tegap..Tinggi-tinggi lagi. Terus anu ...." Tiba-tiba dia tertawa. Lhe, opo'o arek iki.
"Kenapa kamu tertawa? Kamu mau bilang apa? Terus apa?" tanyaku cepat. Aneh ini.
"Gak jadi. Sungkan aku." jawabnya sambil cengengesan.
"Terus apa?"
"Anu. Hihi ...."
"Oh, wedok gak jelas!"