sikat gigi ayah | bagian tengah

146 9 2
                                    

Di sekolah, Dava benar-benar tidak bisa fokus. Saat pelajaran pertama, guru sejarahnya yang sudah tua bernama Pak Romo justru membuatnya semakin sange karena dirinya membayangkan sedang dientot di depan kelas. Atau saat ia mengalihkan pandangan ke belakang kelas, matanya justru bertumbukan dengan Adi, siswa yang bertubuh pendek dan dekil. Ia berfantasi sedang menduduki kontol Adi di barisan belakang sambil tetap berusaha fokus pada materi pelajaran.

Ini tidak bisa dibiarkan. Lama-lama Dava bisa gila. Bahkan selama pelajaran berlangsung, ia terus menerus merapatkan kakinya, karena selama itu pula tititnya ngaceng. Bahkan kini terdapat titik rembesan precum di tengah-tengah ritsleting celana abu-abu cowok itu.

"Dav, lo kenapa dah? Gue perhatiin kayak nggak fokus gitu. Lo sakit?" tanya Felix, teman sebangku Dava.

Cowok yang sedang menahan sange itu menoleh, menatap teman sebangkunya yang bertubuh tambun. Felix adalah keturunan Tionghoa. Kulitnya putih dan berkaca mata. Lagi-lagi Dava membayangkan sedang menghisap kontol Felix yang sepertinya berkulup. Kini ia ingin sekali menyelusup ke bawah meja dan membuka sebagian celana abu-abu Felix.

Dava menggeleng. Membuyarkan lamunan kotor itu dan menjawab pertanyaan Felix bahwa ia baik-baik saja. Walau tidak yakin, Felix kembali memerhatikan Pak Romo yang sedang menjelaskan sejarah masuknya Belanda ke Indonesia.

Ini benar-benar neraka bagi Dava. Ia ingin segera pulang. Cowk itu ingin segera menuntaskan hasratnya. Apa ia pergi ke kamar mandi sekolah saja sekarang untuk coli?

Namun, sebelum hal itu terjadi, bagai Tuhan mengabulkan doa bejat Dava, speaker sekolah berbunyi nyaring mengeluarkan pengumuman yang membuat murid-murid bersorak-sorai. Pasalnya pengumuman itu berbunyi jika para murid dipersilakan untuk pulang karena guru-guru akan mengadakan rapat dadakan.

Kempitan kaki Dava melonggar. Cowok itu mengerjap. Benarkah yang ia dengar tadi? Mata Dava tertuju pada jam di belakang kelas. Pukul 10.30. Masih ada waktu, pikirnya.

Seperti murid-murid yang lain, Dava dan Felix membereskan buku-buku mereka, sementara Pak Romo sudah meninggalkan kelas menuju ruang guru. Dari luar kelas sudah tergengar beberapa murid yang berjalan berbondong-bondong ingin meninggalkan sekolah.

"Lo mau main dulu nggak, Dav?" tanya Felix, setelah semua bukunya dimasukan ke dalam tas.

Dava menggeleng. Tidak. Dia ingin segera pulang dan menuntaskan hasratnya yang sudah menggebu sedari pagi. Entah mengapa kini tititnya sudah melemas dan saat melihat orang lain, fantasi-fantasi tentang mereka tidak lagi bermunculan di kepala Dava.

Cowok itu segera menyampirkan tasnya dan bangkit. "Gue duluan ya, Lix, disuruh jagain rumah." Lalu setelahnya Dava melesat pergi meninggalkan Felix yang ingin mengucapkan sesuatu.

"E-eh ... main pergi aja." Cowok tambun itu mengembuskan napas. "Apa gue main ke rumahnya aja, ya? Gabut, masa langsung pulang."

Langkah kaki Dava begitu cepat, melewati barisan siswa-siswa lain yang juga ingin segera keluar sekolah ataupun sedang berkerumun menunggu temannya keluar kelas. Rasanya sangat tidak sabar bagi Dava untuk segera menanggalkan seragam sekolahnya dan langsung berbaring tanpa busana sambil memainkan tititnya.

Selama perjalanan dari sekolah menuju rumah, Dava seperti melayang. Lngkah kakinya cepat dan lebar. Sapaan beberapa warga yang mengenalnya ia tanggapi sambil lalu. Waktu terus berjalan dan Dava harus segera sampai rumah untuk coli sebelum Ayah pulang untuk makan siang.

Setelah membuka pintu rumah, ia bergegas menuju kamar. Tasnya ia lempar sembarang dan segera melucuti seragamanya dengan asal. Kancing-kancing kemeja yang ia kenakan dipretelinya satu per satu. Tubuh putih dan kurusnya mulai terpampang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lelaki Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang