-nine

4.1K 354 5
                                    

Mansion megah bergaya klasik khas eropa nampak suram seolah di dalamnya tak pernah terpancar kebahagiaan. Bahkan bulu kuduk Louise sendiri kini nampak berdiri. Dengan berat ia melangkahkan kaki, merasa asing dengan suasana kediaman yang mulai sekarang akan ia tinggali.

Tadi, setelah kecupan yang dilayangkan Axton, mata yang sebelumnya terpejam langsung terbuka lebar. Memaksa turun dari gendongan dengan seribu alasan yang ia keluarkan.

Matanya melirik ke bawah, ke arah telapak tangan kanan yang kini dibingkai oleh jemari yang berbeda ukuran. Louise amat mengenalinya, tangan putih pucat dengan banyaknya luka goresan.

"Casey, look at me!"

"Kau tidur bersama kakak, ya?"

"Kakak harus memastikan kau tak akan pergi lagi."

"Please."

Hembusan nafas Louise keluarkan pelan, padahal niatnya akan menghindari orang ini, namun tampaknya kesialan selalu berpihak padanya. Melihat raut wajah yang nampak ketakutan itu membuat hatinya tak tega. Dengan terpaksa ia menganggukkan kepalanya tanda terima-terima saja.

"Okay."

Lengkungan indah terpatri di bibir Axton yang kini masih nampak pasi. Sungguh pemandangan yang langka. Bahkan rasanya Louise ingin memotret detik itu juga. Pahatan wajah yang terlihat nyaris sempurna itu tak bisa Louise  abaikan begitu saja.

Andai saja lengkungan indah itu terus  terjaga. Melihat senyuman bahagia itu membuat Louise merasa kasihan di tempatnya. Axton itu masih amat muda, namun harus terperosok dalam lubang kegelapan yang membuatnya putus asa.

Tanpa sadar Louise mengepalkan tangan kiri yang terbebas dari genggaman. Ia harap setelah ini, kebahagiaan selalu mengelilingi mereka. Bukan hanya Axton, tapi semua manusia yang kini menjadi keluarganya. Oh my gosh! agaknya Louise tak ingat beberapa waktu lalu seolah menolak orang-orang yang kini ia sebut 'keluarga', juga beberapa saat lalu ketika pikirannya berkata akan menghindari 'orang ini'. Maklum saja, pemikiran anak kecil yang belum dewasa memang suka berubah-ubah kan?

⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️

Pintu putih di depannya kini sudah ia buka. Baru satu langkah Louise masuk ke dalam, suasana gelap menyambutnya. Ditekannya saklar lampu yang samar-samar terlihat di dekat ranjang.
Bisa ia lihat suasana kamar yang membuat perasaannya tak nyaman. Penuh pecahan kaca, juga terlihat amat berantakan.

"CASEY!"

"Tolong, jangan bergerak!."

"Kakimu bisa terkena pecahan kaca."

"Akan kakak bersihkan terlebih dahulu agar kau merasa nyaman."

Dengan segera Axton bersihkan hasil dari perbuatan yang ia lakukan. Ia benar-benar membersihkan seorang diri, karena maid pasti sudah tidur akibat kelelahan. Apabila adiknya sampai terluka, bagaimana jika nanti sang adik tak mau bersamanya. Membayangkan saja sudah membuatnya ketakutan. Entah apa jadinya jika menjadi kenyataan.
Axton benar-benar takut untuk membayangkan.

Dituntunnya Louise berbaring ke atas ranjang, kemudian ia dekap erat seolah jika ia lepaskan, adik yang amat ia sayang akan menghilang.

"Casey."

Louise diam menatap langit-langit kamar, sembari memikirkan bagaimana cara menyadarkan manusia di sampingnya bahwa ia bukan Casey yang Axton rindukan. Sebenarnya Louise takut hanya dijadikan pelampiasan, di anggap sebagai Casey yang kini pergi jauh tak bisa kembali. Seolah ia barang rusak yang dipungut hanya untuk dijadikan pengganti. Tanpa Louise sadari, ketakutannya kini benar-benar terjadi.

"Kau tau kan saat kau pergi, hidup kakak berantakan."

" Mendengar kabar hari itu, dunia kakak seolah runtuh."

"Tapi sekarang, syukurlah kau sudah kembali."

"Terima kasih Casey."

"Tetaplah disini dan jangan pernah berpikiran untuk tinggalkan kakak lagi."

"Atau kakak benar-benar akan mati."

Axton sembunyikan wajah sendu di balik dada milik bocah laki-laki yang sangat ia sayangi, juga rengkuhan tangan yang senantiasa melingkari. Axton benar-benar akan memberikan apapun yang Casey minta. Sekalipun itu hidupnya.

BARREY (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang