"Kenapa baru pulang, Inka? Kamu pikir rumah ini cuma tempat persinggahan?!" teriak ibu sore itu, ketika aku baru saja melangkah masuk setelah latihan Paskibra.
Aku hanya bisa menunduk. Ada banyak pembelaan yang ingin kuucapkan, alasan-alasan yang sahih tentang keterlambatanku. Tapi, kata-kataku tertahan di tenggorokan, seperti biasa. Seperti sungai yang tertahan bendungan. Tangan ibu terangkat, ringan, tapi cukup untuk membuat jantungku berdegup lebih kencang. Pukulannya tidak keras, tidak benar-benar menyakitkan di kulit, namun ada sesuatu yang lebih dalam yang terasa retak di dalam diriku setiap kali itu terjadi. Sesuatu yang rapuh. Sudah lama aku terbiasa dengan ini—hukuman kecil untuk hal-hal sepele yang tak luput dari pengawasannya.
Aku tak pernah benar-benar mengerti kenapa ibu begitu keras padaku. Telat pulang, telat mencuci piring, bahkan telat bangun pagi bisa memicu kemarahan yang meledak. Amarah yang sering datang seperti badai, tanpa peringatan. Namun, saat adikku, Rena, melakukan hal yang sama, ibu hanya tersenyum sabar, seolah kesalahan itu adalah angin sepoi-sepoi yang mudah diabaikan. Rena adalah cahaya dalam hidup ibu, bintang kecil yang bersinar paling terang di hatinya. Dia yang bangun terlambat, tapi tak pernah diomeli. Dia yang tak pernah diminta mencuci piring atau membersihkan rumah, karena ibu sendiri yang akan melakukannya untuknya. Aku? Aku hanyalah bayang-bayang, yang berdiri di antara cinta ibu dan perhatian yang sepenuhnya diberikan pada adikku.
"Kenapa kamu nggak bisa seperti Rena?" tanya ibu dingin, suaranya seperti pisau yang menusuk dalam, ketika suatu pagi aku terlambat bangun. "Dia bangun pagi-pagi, langsung bantu ibu. Kamu cuma tahu main-main."
Kata-kata itu selalu menusuk hati, menimbulkan luka yang tak terlihat tapi terasa begitu nyata. Setiap kali ibu membandingkanku dengan Rena, ada dorongan dalam diriku untuk membela diri, untuk berteriak bahwa aku juga mencoba, bahwa aku juga berusaha sebaik yang aku bisa. Namun, aku tahu, suara apa pun yang keluar dari mulutku akan tenggelam dalam gelegar kemarahan ibu. Jadi aku memilih diam, menerima segala tuduhan yang dilemparkan padaku tanpa perlawanan. Aku mungkin terlihat kuat dari luar, tapi di dalam, ada bagian dari diriku yang selalu berharap untuk diakui, untuk diterima apa adanya. Aku hanya ingin dipandang dengan kasih, seperti ibu memandang adikku. Tapi, entah kenapa, segala usaha yang kulakukan selalu terasa sia-sia, seakan aku tak pernah cukup di matanya.
Mungkin itu sebabnya aku mencari cinta di luar rumah. Di sana, aku berharap ada seseorang yang bisa melihatku—bukan sebagai bayang-bayang, tetapi sebagai sosok yang nyata. Seseorang yang bisa mengisi kekosongan yang selama ini kurasakan. Setiap kali seseorang memperhatikanku sedikit lebih dalam, aku merasakan ada ruang dalam hatiku yang mulai terisi, sedikit demi sedikit. Tapi, sering kali, cinta itu datang terlalu cepat, sebelum aku benar-benar sempat mengenal mereka. Dan pada akhirnya, aku kembali terluka—terluka oleh harapanku sendiri yang tak terwujud.
Kehidupan di rumah membuatku terbungkam, membuatku belajar menyimpan segala kata dan rasa di dalam diam. Aku jarang berbicara di depan ibu, jarang mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku. Buat apa? Ibu tak pernah benar-benar mendengarkan. Setiap kali aku mencoba mengatakan sesuatu, suaraku selalu tenggelam oleh gelegar kemarahannya yang tiada habisnya. Aku belajar untuk tidak berbicara, untuk menelan semua perasaan dan menjaga semuanya tetap terkubur dalam. Di sekolah, aku bisa menjadi siapa saja yang aku inginkan, sebagai sosok yang nyata—lebih dari sekadar pantulan samar yang tak pernah dianggap, walau di rumah, aku hanyalah Inka yang selalu salah, yang tak pernah bisa memuaskan harapan ibu.
Aku Inka, dan jika kalian mengenalku hanya dari senyum yang kulontarkan di koridor sekolah atau sapaan hangat di kantin, mungkin kalian akan berpikir bahwa aku adalah gadis yang selalu riang, selalu ceria. Mereka bilang aku mudah bergaul, selalu tahu cara membuat orang lain merasa diterima. Tapi itu semua hanyalah topeng, lapisan luar dari sosok yang menyimpan sesuatu yang jauh lebih dalam—sesuatu yang rapuh, tersembunyi di balik tawa yang sering kali kugunakan sebagai pelindung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati di Kota Kecil
JugendliteraturInka perempuan ceria dan penuh tawa menyimpan kesedihan akibat tak pernah merasakan "rumah" untuk pulang.