Matahari belum terlihat, namun banyak yang telah beraktifitas pagi ini. Terdengar sayup suara yang membangunkan setiap orang yang memeluknya untuk segera menunaikan kewajiban.
Di sebuah kamar yang masih remang, dua gadis bersaudara terlelap di balik cahaya lampu tidur. Gadis yang lebih tua membuka mata terlebih dahulu. Ia bangkit perlahan, melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu.
"Dek, wes adzan, ayo tangi!" sang kakak membangunkan adiknya yang masih tenggelam dalam lelap. (Dek, udah adzan, ayo bangun!)
Sang kakak, Jovita, mengetahui betul alasan mengapa adiknya, Jihan, masih tertidur pulas. Tugas sekolahnya semalam membuat gadis bermata bulan sabit itu harus begadang hingga larut. Hanya tiga jam ia tidur, wajar jika kini ia masih enggan membuka mata. Jovita memakluminya, tetapi ini saatnya mereka menunaikan kewajiban. Sebagai kakak, ia merasa bertanggung jawab untuk membimbing Jihan, menggantikan kedua orang tua mereka yang telah tiada.
"Hmmm, wes shubuh?" gumam Jihan dengan suara serak khas orang baru bangun, seraya meregangkan tubuhnya yang masih kaku. (Udah shubuh?)
"Iyo lah, kok kiro isya'? Wes gek ndang wudhu" jawab Jovita dengan lembut namun tegas. (Iya lah, kamu kira isya'? Udah cepatan wudhu)
Tanpa banyak kata, Jihan segera bangun dan berwudhu. Gadis itu memang penurut. Jovita yang sudah lebih dulu berwudhu, menunggunya sambil mengenakan mukenah. Tak lama, mereka berdua menjalankan sholat subuh berjamaah dengan khusyuk.
Mereka kini tinggal bersama bibi mereka, Hestia, dan pamannya, Suherman. Hestia adalah adik kandung dari ibu mereka. Meski belum dikaruniai anak selama 14 tahun pernikahan, Hestia dan Suherman dengan tulus menerima kehadiran Jovita dan Jihan sebagai anak mereka sendiri.
Usai sholat, Jovita membantu bibinya memasak, sementara Jihan membersihkan rumah. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari keseharian mereka sejak dulu. Meskipun Hestia memperlakukan mereka seperti anak sendiri, Jovita dan Jihan merasa enggan jika hanya bergantung tanpa berusaha membalas kebaikan bibinya.
Jovita dan Jihan kehilangan orang tua mereka saat Jovita berumur 17 tahun dan Jihan baru 12 tahun. Sejak saat itu, Suherman yang memenuhi kebutuhan mereka. Meski bukan orang kaya, ia merasa cukup untuk menanggung keluarga kecil itu.
Kini Jihan berusia 17 tahun dan duduk di kelas 11 sekolah menengah. Jovita, yang berusia 22 tahun, bekerja di konter HP. Meski penghasilannya tidak cukup besar, ia berharap bisa membantu meringankan beban keluarga. Ia telah mengajukan beberapa lamaran ke berbagai perusahaan, namun belum satu pun yang menerima.
Sebenarnya, mereka memiliki warisan berupa rumah kecil di daerah Jombang. Jihan pernah mengusulkan untuk menjualnya demi biaya pendidikan keduanya, tetapi Jovita menolak. Rumah itu satu-satunya peninggalan orang tua mereka, penuh kenangan masa kecil yang tak ingin ia lepaskan.
Pagi ini, mereka berempat duduk bersama di meja makan, menikmati sarapan dan bersiap menghadapi kesibukan hari ini. Jovita, seperti biasa, mengantar Jihan ke sekolah sebelum berangkat bekerja.
Mengendarai motor matic yang ia beli dengan tabungannya sendiri, meski bekas tapi masih nyaman dan terawat.
"Mbak, 2 dino maneh aku kenaikan kelas. Wes pasti mbahas administrasi, aku kondo lek Hesti ora mbak?" tanya Jihan ragu-ragu. (Mbak, 2 hari lagi aku mau kenaikan kelas. Udah pasti pembahasannya administrasi, aku bilang ke tante Hesti nggak, mbak?)
"Ojo sek, kirane ora larang bayare yo ben aku ae sing bayari" jawab Jovita sambil berpikir, menimbang-nimbang. (Jangan dulu, misal nggak mahal bayarnya ya biar aku aja yang bayar)
"Yo wes nek ngnu, aku ra kondo lek Hesti, aku ngenteni sampeyan ae" kata Jihan, akhirnya mengikuti saran sang kakak. (Ya udah kalo gitu, aku nggak bilang tante Hesti, aku nunggu kamu aja)
KAMU SEDANG MEMBACA
Harta, Tahta & Jovita | Taegi Lokal
Teen FictionAda yang palsu tapi bukan duit. Yoongi GS Taehyung