Malam itu, setelah tangisnya mereda, Zee mengambil napas panjang dan menghubungi Tante Feni. Suara Feni yang tenang dan lembut di ujung telepon membuat Zee sedikit merasa lega.
“Zee, ada apa? Suaramu terdengar berat,” kata Feni dengan perhatian.
Zee menghela napas lagi, mencoba menahan emosi yang kembali muncul. “Aku... nggak tahu harus mulai dari mana, Tante. Aku berantem lagi sama Angel, dan... rasanya semua usahaku selama ini nggak ada yang menghargai.”
Feni mendengarkan dengan sabar, memberikan ruang bagi Zee untuk meluapkan perasaannya. Zee menceritakan semuanya, dari buku sketsanya yang dirusak hingga bagaimana Bunda kamu selalu memihak Angel, atau setidaknya itulah yang Zee rasakan. Dia juga bercerita tentang bagaimana perasaannya sering diabaikan, bahkan ketika dia mencoba menjelaskan betapa pentingnya hal-hal yang ia lakukan.
“Aku merasa nggak dianggap penting di rumah ini, Tante. Seolah-olah perasaanku nggak pernah benar-benar dihargai. Bunda selalu bilang aku harus mengalah, dan Angel... dia selalu bisa lolos dari masalah tanpa benar-benar memahami apa yang aku rasakan.”
Feni mendengarkan dengan tenang sebelum akhirnya menjawab, “Zee, aku bisa ngerti kenapa kamu merasa begitu. Tapi kamu harus ingat, orang tua, terutama Bunda kamu, mungkin nggak selalu paham cara menghadapinya. Mungkin mereka nggak menyadari betapa dalamnya luka yang kamu rasakan.”
“Tapi, kenapa harus selalu aku yang mengalah?” tanya Zee dengan suara serak. “Kenapa aku yang harus memaklumi Angel, padahal dia nggak pernah berusaha ngerti aku?”
Feni tersenyum kecil, meskipun Zee tak bisa melihatnya. “Mungkin karena kamu yang lebih dewasa, Zee. Angel masih muda, dan dia mungkin belum paham bagaimana cara menunjukkan empati. Kadang, itu yang terjadi dalam keluarga. Yang lebih dewasa sering kali harus mengambil langkah pertama.”
Zee terdiam, mencoba mencerna kata-kata Feni. Meskipun sulit diterima, ada bagian dari dirinya yang tahu bahwa Feni benar. Tapi itu tidak membuat perasaan sakitnya hilang. Setelah beberapa saat berbicara, Zee menutup telepon, merasa sedikit lebih tenang namun masih ada beban di hatinya.
---
Keesokan harinya, Zee bangun dengan tubuh yang terasa lebih lemas dari biasanya. Kepalanya berdenyut, dan tenggorokannya mulai terasa sakit. Dia mencoba bangkit dari tempat tidur, tapi tubuhnya terasa berat. Zee memutuskan untuk tetap berbaring, berpikir mungkin hanya butuh istirahat.
Namun, sepanjang pagi, kondisinya semakin memburuk. Tenggorokannya terasa semakin sakit, dan tubuhnya mulai menggigil. Zee merasa dirinya mungkin terserang flu atau demam. Dia tahu bahwa dia perlu bantuan, tetapi mengingat pertengkarannya dengan Angel dan kurangnya perhatian dari bundanya Zee ragu untuk meminta tolong.
Meski begitu, Zee akhirnya mengirim pesan kepada Angel. Dia berharap kali ini adiknya akan sedikit lebih peduli.
“Angel, aku sakit. Bisa tolong bawain air atau obat?” tulis Zee dengan tangan gemetar.
Tidak ada balasan dari Angel. Zee menunggu beberapa menit, tetapi pesan itu hanya dibiarkan terbaca tanpa tanggapan. Perasaan kecewa kembali menghampiri Zee, tapi dia mencoba bersabar. Mungkin Angel sedang sibuk, pikirnya.
Zee kemudian mencoba menghubungi Bundanya, meski dia ragu Bunda akan memberikan respon yang berbeda.
“Bunda, aku nggak enak badan. Bisa tolong ambilin obat?”
Tak lama kemudian, balasan datang. “Zee, Bunda lagi sibuk. Minum air hangat dan istirahat, ya. Nanti kamu pasti sembuh.”
Balasan itu membuat hati Zee terasa semakin berat. Dia tahu bahwa ini hanya flu biasa, tapi rasanya jauh lebih menyakitkan ketika orang-orang di sekitarnya tidak benar-benar peduli. Rasa sakit fisik bercampur dengan rasa sakit emosional yang semakin dalam. Zee terbaring di tempat tidur, merasakan kesendirian yang seakan tak tertahankan.
Selama sisa hari itu, Zee berusaha bertahan sendiri. Tubuhnya semakin lemah, tapi tidak ada tanda-tanda perhatian dari Angel maupun Bunda Shani. Angel sesekali masuk ke kamarnya untuk mengambil sesuatu, tetapi tidak berkata apa-apa atau menawarkan bantuan. Zee hanya bisa menahan air matanya dan berharap bahwa mereka akan menyadari betapa buruknya kondisinya.
Menjelang malam, Zee tidak bisa lagi menahan diri. Tubuhnya menggigil parah, dan dia mulai merasa pusing. Dalam keadaan yang semakin tak tertahankan, dia berbisik pelan pada dirinya sendiri, berharap ada yang akhirnya mendengarnya.
"Aku cuma butuh bantuan... tolong..."
Tetapi, tak ada yang datang.
Cerita masih bersambung......
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Harapan
Teen FictionDi tengah hiruk-pikuk sebuah kota besar, Zee, anak pertama dari dua bersaudara, menjalani hidup yang penuh tekanan. Sejak kecil, Zee selalu dianggap sebagai anak yang bertanggung jawab, contoh sempurna bagi adiknya, Angel. Namun di balik tuntutan it...