Saat Feni memegang tangan Zee yang dingin, jantungnya berdegup lebih cepat. Hatinya dihimpit kekhawatiran yang semakin dalam. Dunia di sekitar mereka seolah memudar, hanya ada mereka berdua di dalam ruang IGD rumah sakit yang terang benderang. Mesin-mesin medis berdetak, jarum infus terpasang di tangan Zee yang lemah, dan dokter beserta perawat sibuk bekerja dengan penuh perhatian, namun Feni hanya bisa fokus pada wajah Zee yang semakin pucat.
"Zee, kamu dengar suara Tante, kan?" kata Feni, berusaha memberi kekuatan meski suaranya bergetar. "Kamu nggak sendirian. Tante ada di sini. Kamu kuat, kan?"
Zee, dengan mata yang sulit terbuka, hanya bisa mengangguk pelan. Bibirnya pucat, dan setiap helaan napasnya terasa berat. Feni bisa melihat betapa tubuh Zee sangat rapuh, jauh lebih rapuh daripada yang dia bayangkan. Setiap kali Zee menggigil, Feni merasa hatinya ikut menggigil, menyesal karena baru sekarang menyadari betapa besar penderitaan yang telah ditanggung oleh Zee selama ini.
Dokter terus memeriksa keadaan Zee, memberikan cairan infus dan obat untuk meredakan demam dan infeksi tenggorokannya. Sementara itu, Feni hanya bisa duduk di samping tempat tidur, tangan Zee yang kecil dan dingin masih erat digenggamnya, seolah itu satu-satunya cara untuk memberikan kekuatan pada gadis muda yang terbaring lemah di depannya.
Feni menatap Zee dengan tatapan penuh kasih, tetapi juga perasaan bersalah yang mendalam. Dia tahu bahwa selama ini dia tidak cukup hadir dalam kehidupan Zee, meskipun dia selalu berusaha menjadi orang yang bisa diandalkan. Namun saat Zee benar-benar membutuhkan seseorang, dia merasa terlalu jauh, terlalu terlambat. Rasanya seperti ada batu besar yang menekan dadanya, semakin berat setiap kali dia melihat kondisi Zee yang semakin memburuk.
"Zee... Tante minta maaf," kata Feni perlahan, suaranya hampir berbisik. "Aku tahu aku nggak cukup hadir untuk kamu selama ini. Aku nggak tahu kamu menderita sebanyak ini."
Zee membuka matanya sedikit, dan meskipun tubuhnya sangat lemah, dia mencoba untuk mengangkat tangannya yang gemetar, meraih wajah Feni dengan lembut. Matanya yang sudah hampir tertutup menatap Feni dengan pandangan yang campur aduk—ada kelelahan, ada rasa sakit, tetapi juga ada kehangatan dan kasih sayang yang tetap ada. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Zee, meskipun hanya samar-samar.
"Tante... jangan... jangan... terlalu keras sama diri Tante," suara Zee terdengar begitu lemah dan serak. "Aku nggak... nggak nyalahin Tante... Aku cuma... aku cuma... merasa..."
Zee berhenti, menarik napas panjang yang terdengar sangat berat. Feni mengusap pelan kening Zee, berusaha menenangkan gadis muda itu.
"Apa yang kamu rasakan, Zee?" tanya Feni lembut, suaranya penuh perhatian, meski air mata yang mulai mengalir terasa begitu memedihkan.
Zee menatap Feni dengan tatapan yang nyaris tidak mampu terbuka sepenuhnya. "Aku... merasa... nggak ada yang peduli," bisiknya dengan susah payah. "Aku selalu berusaha... tapi... tapi nggak ada yang peduli... Aku sendirian."
Feni merasa seperti terhempas oleh kata-kata itu. Sebuah kesedihan yang tak terbendung merayapi hatinya. Selama ini, dia tahu Zee sering merasa terabaikan, tapi sekarang mendengarnya langsung dari mulut Zee, kesakitan itu begitu nyata. Tangannya semakin erat menggenggam tangan Zee, mencoba memberi ketenangan pada gadis muda yang terasa sangat rapuh di depannya.
"Tapi sekarang kamu nggak sendirian, Zee. Tante ada di sini," kata Feni dengan suara yang penuh kekuatan meskipun hati dan pikirannya sedang bergejolak. "Aku janji, kamu nggak akan pernah merasa sendirian lagi."
Zee terpejam, tubuhnya semakin lemah. Feni bisa merasakan betapa rapuhnya tubuh itu, bagaimana nyawanya tergantung pada bantuan medis yang datang tepat waktu. Feni hanya bisa menatap Zee dengan penuh rasa sakit di dalam hati, menyadari betapa selama ini ia terlambat untuk benar-benar memperhatikan apa yang terjadi dalam hidup Zee.
Saat dokter keluar dari ruangan, Feni menarik napas panjang. Ia merasa beban berat di pundaknya, tetapi juga ada sedikit rasa lega karena Zee sudah mendapatkan perhatian yang tepat. Namun, kesedihan dan penyesalan itu tetap ada.
Shani dan Angel akhirnya datang, wajah mereka terlihat penuh penyesalan. Shani tampak khawatir, sementara Angel, meski tampak terpaksa, ikut masuk ke ruang IGD setelah ibunya memaksanya.
Shani mendekat ke tempat tidur Zee dan menatap anak perempuannya yang terbaring dengan mata berkaca-kaca. "Zee, sayang... aku... aku minta maaf. Aku nggak tahu kamu seburuk ini," ucap Shani, suaranya terdengar serak dan penuh penyesalan.
Angel hanya berdiri di belakang ibunya, tampak cemas meskipun wajahnya masih menunjukkan rasa tidak sabar. Namun, ada sesuatu yang berbeda di matanya—sesuatu yang lebih lembut, lebih paham. Dia mengalihkan pandangannya ke Zee, kemudian menunduk, tak berani mengatakan apa-apa.
Feni menatap Shani dengan tatapan penuh emosi. “Kamu baru sadar sekarang? Seharusnya ini bukan pertama kalinya kamu menyadari betapa buruknya keadaan Zee,” kata Feni dengan suara yang berat. “Selama ini, dia merasa sendirian, dan kalian semua terlalu sibuk dengan urusan masing-masing untuk melihat itu.”
Shani menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku benar-benar minta maaf, Feni. Aku nggak tahu... aku nggak sadar.”
Feni merasa amarah dan kecewa semakin menumpuk di dalam hatinya, tetapi ia juga tahu ini bukan saatnya untuk menyalahkan. Kini, mereka semua sudah ada di sini. Dan yang paling penting, Zee sudah mendapatkan perhatian yang selama ini dia butuhkan.
Feni menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. “Aku nggak ingin melihat Zee merasa seperti ini lagi. Dia nggak seharusnya merasa sendirian seperti itu. Semua orang berhak merasakan perhatian dan cinta. Terutama dari orang-orang yang dia anggap dekat.”
Shani hanya bisa mengangguk, wajahnya semakin terisak. Angel yang di samping ibunya tampak bingung, merasa cemas. Namun, dia tahu sekarang—walaupun dengan cara yang mungkin belum sepenuhnya ia mengerti—bahwa Zee sangat membutuhkan perhatian yang tulus dari mereka.
“Dia butuh kalian, Shani. Dan kamu, Angel. Jangan sampai terlambat lagi,” tambah Feni pelan, suaranya berat namun tegas.
Saat itu, Zee membuka matanya sedikit, menatap bundanya dan Angel dengan tatapan yang sudah begitu lelah. Dengan tenaga yang tersisa, Zee meraih tangan Feni dan menggenggamnya dengan erat. Seperti ada sedikit kekuatan yang tersisa dalam dirinya untuk merasa tenang. Meskipun tubuhnya sangat lemah, hatinya merasa sedikit lebih ringan. Ada orang yang peduli. Ada orang yang melihatnya. Dan untuk saat ini, itu sudah cukup untuk memberi sedikit harapan.
"Terima kasih, Tante...," suara Zee hampir tak terdengar, tetapi Feni mendengarnya dengan jelas. "Terima kasih... karena ada..."
Feni menatap Zee, air matanya jatuh begitu saja. “Kamu nggak perlu bilang terima kasih, Zee. Tante selalu ada untuk kamu. Selalu.”
Saat itu, dunia di sekitar mereka seolah berhenti sejenak, dan meskipun masa depan masih penuh dengan ketidakpastian, untuk sekarang, mereka bisa berpegang pada satu sama lain. Ada harapan. Ada cinta. Ada seseorang yang peduli. Dan itulah yang terpenting.
Cerita masih bersambung......
Yuhuuu segini dlu yah, sorry kalau banyak typoo hhehehe...
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Harapan
Fiksi RemajaDi tengah hiruk-pikuk sebuah kota besar, Zee, anak pertama dari dua bersaudara, menjalani hidup yang penuh tekanan. Sejak kecil, Zee selalu dianggap sebagai anak yang bertanggung jawab, contoh sempurna bagi adiknya, Angel. Namun di balik tuntutan it...