Dalam ruangan dingin di salah satu kamar rawat, aku memandang kosong dinding putihnya. Suara beberapa pasien yang di jenguk oleh keluarga mereka terekam jelas dalam pendengaranku. Hatiku jadi merasa iri dengan itu, kehangatan mereka dapat ku rasa dari jauh.
Aku bahkan tidak dapat merasakan hal tersebut, tidak ada keluarga yang akan menjenguk bahkan jika aku sekarat sendiri di sini. Rumah sakit ini semakin dingin, ketika aku terbaring sendirian tanpa ada yang menjenguk.
Bayangan ku masih teringat jelas pada wajah kesakitan milik bang Kaisar malam kemarin. Aku mendengar para perawat membawa bang Kaisar ke ruangan rawat yang lebih privasi. Sehingga tidak dapat ku temui lagi bang Kaisar untuk memastikan sakit apa yang dirinya derita.
"Nak, mau jeruk?"
Seseorang dari ranjang sebrang menyapaku, aku terkejut melihat seorang wanita berusia lanjut menawarkan buah jeruk padaku. Dengan senyum hangat yang dapat mengingatkan aku pada nenek di desa. Ah, seketika aku jadi merindukan nenek.
"Kenapa nangis, nak?"
Terkejut dengan hal itu, aku mengusap bulir air mata yang tidak sengaja menetes pada pipiku. Tidak sadar aku sudah menangis di hadapan orang asing.
"Ah, maaf. Saya teringat nenek saya ketika melihat nenek."
"Oh begitu. Pasti kangen sekali ya dengan neneknya?"
Aku mengangguk pelan, tersenyum menanggapi. "Iya. Terimakasih." ku ambil buah jeruk yang sedari tadi di sodorkan padaku.
Nenek di depanku membalas senyum yang tercetak apik pada wajahnya yang sudah berkeriput. Benar-benar menenangkan, sama seperti milik nenekku. Rasa rindu ini kembali terasa di hati, merasa kesepian saat harus sakit sendiri tanpa ada yang menemani.
"Habis berantem sama siapa, Nak? Kok wajahnya babak belur seperti itu?"
Seseorang di atas ranjang, yang ku tebak adalah keluarga nenek itu menanyakan keadaan ku. Hatiku sedikit menghangat karena itu, orang asing saja memiliki perhatian yang lebih padaku. Di banding keluarga ku sendiri.
"Di pukuli sama orang gila, Om."
Aku membalas sedikit bercanda, gurat cemas pada wajah mereka kembali menghangatkan perasaanku. Ternyata ini rasanya di perhatikan orang lain selain keluarga sendiri. Mereka bahkan baru mengenalku beberapa saat lalu. Tapi dapat ku rasakan ketulusannya.
"Lain kali hati-hati ya sama orang gila!"
"Iya, orang gila sekarang memang suka mukul orang. Menakutkan sekali,"
Aku mengangguk mengerti, "iya terimakasih sudah diingatkan."
Aku mengupas perlahan kulit jeruk yang nenek itu berikan. Memakannya satu persatu dengan pelan, sudut bibirku terasa nyeri sebab sobek oleh pukulan Fariz kemarin malam. Dokter yang memeriksa ku sudah mengobati semua lebam yang ku miliki.
Sebenarnya aku sudah bisa pulang dari semalam, namun karena khawatir jantungku ada masalah aku meminta pemeriksaan tambahan pada perawat. Jantung ini tidak boleh kenapa-napa, sebab masih banyak impian yang harus kuraih.
Karena pemeriksa harus di lakukan oleh dokter spesialis, aku harus menginap semalam di rumah sakit. Sehingga diriku berakhir di kamar inap yang berisi empat pasien lain yang juga sedang di rawat. Termasuk nenek dan pria setengah baya yang mengisi ranjang sebelah ku.
"Ngomong-ngomong dimana keluarga mu, Nak?"
Pertanyaan dari nenek barusan membuatku terdiam. Entah harus menjawab apa, aku pun tidak tahu. Keluarga mana yang aku punya saat ini. Apakah mereka yang jelas-jelas menolakku di sisi mereka? Hanya senyuman sendu yang dapat ku balas sebagai jawaban.
![](https://img.wattpad.com/cover/372475576-288-k181603.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ajari Aku Sabar [END]
FanfictionSeperti apa rasanya hidup saat tidak di anggap keluarga mu sendiri? Raja Nusantara merasakannya. Dia yang tidak di perhatikan keluarganya. Di buang dan di abaikan bagai tidak pernah terlahir. Tangisnya tidak terdengar, sakitnya tidak terlihat. Semua...