Tentang dia

9 1 0
                                    

Angin laut berhembus lembut, tapi tak ada yang menghangatkan hati Nami sore itu. Di tangannya, secarik kertas yang terasa lebih berat dari biasanya—pengumuman resmi dari Angkatan Laut. Dia duduk di kursi di beranda rumahnya, tempat yang dulu penuh dengan suara tawa dan percakapan hangat antara dia dan Zoro. Sekarang, hanya kesunyian yang mengisi ruang kosong di antara mereka.

Matanya menelusuri kata-kata formal di surat itu. Kebocoran fatal, seluruh kru hilang, tidak ditemukan selamat. Setiap huruf menancap seperti pisau di dadanya. Dia memejamkan mata, berharap ketika dibuka kembali, semua ini hanyalah mimpi buruk yang bisa ia bangun darinya. Tapi kenyataan terus menggerogoti, menghancurkan harapannya sedikit demi sedikit.

Zoro... suaminya, penjaga jiwanya, telah pergi. Bersama teman-teman dekatnya—Sanji, Luffy, Usopp, Franky, Law, Kid, dan Brook. Semua tewas dalam insiden kapal selam yang tragis. Mereka terperangkap di dasar laut, dan tak ada lagi yang bisa dilakukan.

Nami menarik napas panjang, berusaha meredam gemuruh di dadanya. Tangannya gemetar saat meraba cincin pernikahan di jarinya. Ini bukan akhir yang kau janjikan padaku, Zoro... pikirnya, memejamkan mata dengan erat. Rasa hampa yang begitu dalam membalut hatinya.

Mereka seharusnya pulang. Zoro selalu berkata bahwa ini hanyalah satu misi lagi. Setelah itu, mereka akan hidup tenang, jauh dari semua ini. Mereka akan punya waktu lebih banyak bersama. Itu janjinya.

Tapi sekarang, janji itu hancur berserakan seperti puing-puing kapal selam yang tenggelam di lautan. Tidak ada lagi harapan untuk melihat mata Zoro yang selalu tegas namun penuh kehangatan. Tidak ada lagi senyum tipisnya, atau suaranya yang memanggil namanya.

Nami membuka matanya, menatap jauh ke cakrawala. Apakah dia merasakan sakit? Apakah dia mengingatku saat detik-detik terakhirnya?

Hanya lautan yang menjawab dengan keheningan.

Di tengah keheningan yang melingkupi rumah, ingatan-ingatan Nami perlahan muncul, seperti bayangan-bayangan yang tertanam dalam. Hanya dengan memejamkan mata, dia bisa kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana Zoro masih di sisinya.

Beberapa bulan sebelum Zoro berangkat...

"Nami, kenapa wajahmu begitu kusut?" suara Zoro yang dalam namun ringan membuatnya tersentak dari lamunan. Dia sedang duduk di meja dapur, memotong buah-buahan untuk sarapan mereka berdua. Zoro duduk di seberangnya, dengan tangan disilangkan, memperhatikannya dengan senyum tipis di wajahnya.

"Aku cuma khawatir... tentang misimu nanti." Nami menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan perasaan cemas yang menyesakkan dadanya. "Kapal selam itu baru, kan? Apa sudah cukup aman? Dan... perjalananmu kali ini jauh lebih lama dari biasanya."

Zoro mendengus, seakan menertawakan kekhawatirannya. "Aku sudah bilang, ini hanya misi biasa. Aku akan baik-baik saja, Nami." Dia mengulurkan tangannya, meraih jemari Nami dan menggenggamnya dengan lembut. "Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang buruk."

"Tapi Zoro—"

"Aku janji akan kembali," potong Zoro tegas. Tatapan matanya serius, tapi hangat, seolah berusaha meyakinkan Nami bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan. "Setelah ini, kita akan punya lebih banyak waktu. Aku tahu kau selalu ingin kita bepergian bersama—kita bisa pergi ke mana saja yang kau mau."

Nami terdiam, merasa hangat dengan janji itu, meskipun rasa khawatirnya masih menggelayut. Zoro selalu begitu—percaya diri, tenang, seakan tidak ada yang bisa menghancurkannya. Mungkin, di satu sisi, itulah yang membuat Nami selalu merasa aman bersamanya.

Zoro berdiri dari kursinya dan berjalan ke belakang Nami. Dia merangkulnya dari belakang, meletakkan dagunya di bahu Nami. "Kau percaya padaku, kan?" bisiknya lembut.

Laut gelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang