Tepat pukul dua siang. Saat kelas Jake telah selesai, pemuda itu mendengus kesal kala melihat sosok Angkara yang berdiri menunggunya di depan gerbang.
Sesuai janji, harusnya ia dan Tristan menemani Angkara kembali ke rumah sakit jiwa. Namun, dikarenakan Tristan yang telah menempati kelas dua belas-- dirinya tak bisa meliburkan diri terlalu sering, mengharuskan Jake pergi seorang diri menemani Angkara. Itu yang membuat malasnya semakin menjadi-jadi.
Tristan-- anak itu, memang bukanlah murid yang teladan. Tristan sering bolos, pulang lebih awal dan masuk sesuka hati.
Sekacau itu kehidupan sekolahnya. Bahkan Layla pun menyerah menegur. Tetapi, hari ini anak itu tak banyak bertingkah. Dia dengan patuh berangkat ke sekolah, memakai atribut rapi dan berpenampilan selayaknya pelajar. Dalam satu malam, ia berubah. Apakah hidayah telah turun padanya? Mengejutkan sekali.
"KAKKK JAKE!"
Tanpa sadar, Angkara berteriak menyeru saat kedua netra indahnya menyorot penuh binar pada keberadaan Jake yang berjalan malas.
Jake mengangkat sebelah alisnya-- bingung. Angkara berlari kecil ke arahnya. Ada apa dengan anak ini? Mengapa dia terlihat begitu bersemangat?
"Kena--"
Belum usai dialog, kedua mata Jake terbuka lebar. Tubuhnya tersentak seketika, kala tanpa diduga jika Angkara akan tiba-tiba memeluknya seperti ini.
Dorongan Jake kerahkan, hingga tubuh yang lebih muda terdorong ke belakang.
Angkara tak mempermasalahkan hal itu. Senyumnya tetap cerah merekah. Ia mengutuk dirinya, karena berbuat tak sopan karena terlalu senang. Jake pasti merasa tidak nyaman.
"Kau kenapa?" Sinis menatap-- Jake menunjukkan terang-terangan ketidaksukaannya.
"Kak, aku dapet alamat keluarga ayah dari Pak Zai. Beliau nemuin aku, pagi tadi ke kost-an," ujar Angkara antusias.
Bocah itu melompat kecil, membiarkan helai rambutnya terambung di kala lompatan.
Tuing-tuing. Batin Jake tanpa sadar berseru saat ia memperhatikan Angkara yang tersenyum dengan begitu indahnya.
"Terus?"
"Terus? Kok terus sih, Kakak mau 'kan anterin aku ke alamatnya?" tanya Angkara harap-harap cemas. Tak ada keantusiasan di mata Jake, membuatnya takut akan penolakan. Angkara tentu cukup tau diri untuk tak memaksa.
"Om Khalid hari ini pulang."
"Om Khalid?"
"Suami tante Layla. Dia pelaut, pulang setahun sekali dan cuma sebulan. Keluarga aku sibuk, kamu ke sana sendiri emangnya gak bisa? Kan udah ada alamatnya, apa lagi?" Ketus berucap, kata-kata Jake sukses membungkam Angkara. Padahal pagi tadi, hal ini sudah dibicarakan. Layla sudah memberi kabar jika Zainudin datang berkunjung ke rumah Angkara dan Jake diminta tolong oleh wanita itu untuk mengantarkan Angkara ke alamat tujuan. Namun, si pemuda justru ... ah, sudahlah!
"Ta-tapi 'kan aku orang baru di sini." Tersirat permohonan di balik perkataannya, Angkara seketika diliputi perasaan sesak. Binar cerahnya meredup seiring luruh kedua bahu.
"Kamu bisa ke kota ini sendirian aja udah menandakan kalo kamu tuh dewasa. Jangan ngerepotin orang, kita gak sedekat itu." Jake berlalu melewati tubuh Angkara. "Aku bantuin kamu kemaren cuma karena permintaan Tante Layla, gak lebih," ujarnya tanpa berbalik. Terus melangkah, menuju parkiran di mana teman-temannya telah menunggu hadirnya. Mereka sudah mempunyai janji untuk nongkrong di salah satu cafe.
Angkara menghela napas. Murungnya cuma sejenak, detik berikutnya kala Angkara menampar pipinya sendiri dengan keras disusul dengusan kasar yang ia hembuskan, seketika senyumnya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Hitam Dalam Nurani
Teen FictionSorot mata teduh menenggelamkan jiwa. Saat beradu tatap dengan netra indahnya ketenangan dapat dirasa. Di bawah bayangan teduh pohon ketapang kencana, si pemilik senyum manis itu berdiri. Kilau kaca dari balik bulu mata lentik menambahkah kesan mani...