LAUT YANG TERBAKAR.

143 22 0
                                    

Halva menuruni tangga dengan perlahan. Dia melihat sosok ayahnya yang terduduk lelah di depan layar kaca karena seharian sibuk bekerja. Dia ragu, apakah harus mengutarakan keinginannya atau tidak.

Tangannya bertautan dengan hembusan nafas berat dari mulutnya.

Perlahan tapi pasti dia mendudukan diri di samping ayahnya "Kenapa Halva?" Ayah sepertinya peka dengan tingkah laku Halva yang mencurigakan.

"Emm" Halva meremat celananya.

Ayah yang paham pun melontarkan suaranya lagi "Ngomong aja. Halva mau apa?" Ayah tidak mengalihkan pandangannya dari pertandingan bola di layar kaca itu.

"Yahh.." Ucapnya ragu dan di selingi kecemasan.

Ayah menunggu kelanjutan ucapan Helva dengan mengambil sepotong singkong rebus di depannya "Besok adek di suru ke rumahnya ib-u" Suaranya bergetar ketika mengucapkan kata ibu.

Ayah berhenti sejenak saat ingin memasukan singkong rebus ke mulutnya.

Dia menatap Halva yang juga menatapnya. Seketika atmosfer di ruangan itu berganti menjadi lebih mencekam. Halva mencoba tak gentar dengan ucapannya barusan.

"Kalo ibumu mau ketemu adekmu dia harus jemput sendiri terus suruh ijin dengan ayah langsung" Halva mengerutkan keningnya. Dia nampak tak suka dengan ucapan ayahnya.

Halva tau ini akan terjadi. Dia terlampaui paham dengan tabiat ayahnya yang egois "Kenapa si yah" Suara Halva nampak tegas, namun jika di dengar lebih jelas suara itu nampak bergetar.

"Memang ibumu pernah berfikir jika masih punya anak?" Halva tidak terima dengan ucapan ayah.

"Ayah tau dari mana ibu ga pernah berfikir begitu?" Ayah menatap Halva dengan marah.

"Ibu masih mikirin aku sama adek kok. Ibu masih ngirimin uang ke aku. Ibu juga sering nyuruh aku ke rumah nya tapi memang aku nya yang ga bisa ke sana, juga gara gara ayah!" Halva masih mencoba setenang mungkin menghadapi ayahnya yang masih terjebak di masa lalu.

"Terserah kamu. Ayah capek" Ayah beranjak dari duduknya untuk menuju ke kamar tapi suara Halva menghentikan langkahnya. Ayah berbalik menghadap Hava "Besok aku mau pergi dan aku ga punya uang"

"Emang ayah ada? Aku kesana juga ingin minta uang ke ibu" Lanjutnya.

"Emang biasanya siapa yang ngasih? Apa ibumu?!" Suara ayah mulai meninggi namun itu tak membuat Halva takut. Ntah keberanian dari mana tapi Halva juga tersulut oleh emosi ayah.

"Iya kok. Emang ayah yang ngasih setiap hari. Ibu mah apa? Ibu cuma ngasih setiap bulan"

"Aku tu besok mau pergi dan aku butuh uang, kalo ayah ada uang aku minta ayah aja. Sebenernya aku minta ibu biar ngeringanin beban ayah. Kalo aku minta ke ayah terus ya uang nya ayah bakal habis, ga bisa buat beli rokok, terus ujung ujungnya uang yang aku minta dari ayah bakal ayah minta lagi. Ayah bilang bakal di ganti? Tapi kalo aku ga minta lagi ya ga bakal di ganti" Ayah menatap Halva yang masih duduk di sofa dengan tak percaya. Sedangkan Halva mulai cemas dengan ucapan yang baru saja dia lontarkan. Apakah terlalu berlebihan? Tapi itu nyatanya!

"Terserah kamu. Ayah belum tidur seharian, jangan bahas itu" Halva tau, ayah pasti tidak pernah menerima fakta itu. Ayah ingin kabur dari masalah atau ayah tidak bisa menjawab kata kata nya tadi?

"Ayah sendiri kan yang mulai? Aku ngomong baik baik tadi"

"Kalo kamu mau ke ibumu ya terserah kamu" Halva terkekeh, membuat ayah geram.

"Kamu tau kan kalo ayah sakit hati karena ibumu selingkuh dari ayah?" Topik ini lagi? Apa ayah tak punya topik lain selain membahas ini? Halva jengah.

"Ayah dari dulu selalu di remehin! Kamu minta apa aja udah ayah pikirin, kok kamu kayak gitu ke ayah?" Basi. Itu yang ingin Halva teriakan di depan ayah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My World | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang