"Pagi, Mbak Viera!" Xaviera yang baru saja duduk di kursinya semenit lalu hanya bisa tersenyum kecil saat Lili, anak magang di Divisi Creative Writing, memasuki ruangan sambil melompat-lompat girang. Terdengar gumaman lagu riang dari mulut Lili, membuat Xaviera mengangkat kedua alisnya terheran-heran.
"Kamu kenapa, Lili? Pagi-pagi sudah senang. Habis ketemu pacar, ya?" goda Xaviera.
Lili mengikik geli. "Ih, Mbak Viera! Tadi aku habis ketemu cowok ganteng di kantor kita!"
Otak Xaviera berpikir keras. Laki-laki mana di kantor mereka yang berhasil membuat si anak gen Z kesengsem seperti ini? Masalahnya, mereka bekerja di sebuah perushaan game yang dominan diisi oleh cowok-cowok IT. Tahulah, style anak IT seperti apa. Kebanyakan dari mereka memakai kaus seadanya, celana jeans belel, dan sepatu Converse buluk. Karena penasaran, akhirnya Xaviera bertanya. "Siapa?"
"Itu, loh, Mbak. Mas Lucas!"
Otot-otot wajah Xaviera menegang saat mendengar nama itu. Senyumnya mendadak kaku. "Oh." Tanpa sadar, Xaviera membulatkan mulut.
"Mbak Viera tahu Mas Lucas? Dia di posisi apa, sih? Aku mau lihat lanyard-nya tapi gagal."
"Lucas itu--" Tepat saat itu, ponsel Xaviera berbunyi. Tanpa sadar, ia membuang napas panjang yang ternyata ia tahan sejak beberapa detik lalu. Di layar ponsel tertera satu nama: Adrian. "Ngobrolnya nanti lagi, ya, Lili. Gue ditelepon Adrian," kata Xaviera cepat. Kemudian ia menekan buttton hijau dan keluar ruangan. "Halo, Adrian?" sapa Xaviera begitu panggilan dijawab.
"Hai, Viera. Sudah ada di kantor?"
"Sudah. Ada apa?"
"Bisa ke ruang rapat 101? Ada hal yang perlu gue bicarakan. Sekarang."
Setelah itu, panggilan telepon diakhiri. Xaviera kembali masuk ke ruangan untuk mengambil laptop-nya, lalu memberikan instruksi kepada Lili. "Li, nanti tolong translate yang ini, ya. Satu episode dulu, nanti gue periksa. Thank you."
*
Bekerja di perusahaan game mungkin adalah salah satu impian anak muda zaman sekarang. Di bayangan mereka, bekerja di perusahaan game artinya kesempatan bermain tanpa batas. Well, bagi Xaviera, mungkin bagian itu nyaris betul. Sebagai seorang Creative Writer di perusahaan game, Xaviera sering mendapatkan kesempatan untuk mencoba berbagai jenis game baru. Namun, satu hal yang harus ditekankan: Xaviera--dan sebagian besar mereka yang bekerja di industri ini--memainkan permainan untuk keperluan riset. Sisanya? Tentu saja Xaviera harus bekerja dan meeting--oh, ada banyak sekali meeting, contohnya adalah pertemuan dengan Adrian pagi ini.
Begitu sampai di depan ruang rapat 101, Xaviera mengecek isi ruangan dari pintu kaca. Di ujung meja berbentuk persegi panjang yang terletak di tengah ruangan, duduk Adrian. Di sampingnya, seseorang dengan wajah yang Xaviera hindari ikut duduk manis. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang penting, membuat Xaviera sedikit enggan untuk masuk ke dalam ruangan itu. Namun, tiba-tiba saja Adrian menatap Xaviera dan menyuruhnya masuk.
Xaviera membuka pintu dan memasuki ruangan. Ia terlihat ragu duduk di mana, kemudian Adrian menunjuk kursi kosong di sampingnya--di seberang Lucas. "Duduk di sini, Vier. Ada yang perlu gue bicarakan dengan kalian berdua," ucap Adrian sambil melihat Xaviera dan Adrian bergantian.
Dengan langkah berat, Xaviera mengikuti arahan Adrian dan duduk di seberang Lucas. Ia mengangguk kecil pada Lucas sebagai sapaan, yang tidak dijawab oleh lelaki itu. Minimal, Lucas setidaknya balas mengangguk pada Xaviera. Namun, lelaki itu malah menatapnya tajam lalu membuang muka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Love Game
RomanceXaviera, seorang Game Writer, diminta bekerja sama dengan Lucas, seorang produser game, untuk membuat game dari sebuah novel best-seller. Masalahnya, teman sekantor mereka tidak ada yang tahu bahwa Xaviera dan Lucas adalah sepasang suami-istri. Jadi...