Prolog : Burung?

8 1 0
                                    

    Malam itu, angin dingin menyusup di antara dedaunan, menggetarkan setiap cabang dan ranting yang melindungi kebun burung ayahku. Udara basah membawa aroma tanah dan hujan yang baru saja reda. Kebun burung itu sunyi tak seperti biasanya. Tidak ada kicauan, tidak ada riuh rendah suara sayap yang mengepak. Ketiadaan itu, sunyi yang asing, langsung menimbulkan rasa tak nyaman di dadaku. Seolah alam telah merencanakan sesuatu yang tak bisa ku abaikan. Aku berencana mendatangi laboratorium tempat Ayah dimana ayah meneliti burung-burung, Aku tidak terlalu mengerti dimana menariknya burung? mereka hanyalah hewan berisik yang suka berkicau jika dilepaskan mereka terbang jadi harus selalu dikurung di sangkar yang seperti belenggu bagi para burung.
    Aku berjalan cepat, melewati gerbang logam laboratorium yang telah berkarat di beberapa sudutnya. Semuanya terasa berbeda malam ini. Laboratorium kecil ayahku, terletak di sudut kebun, terlihat dari kejauhan. Cahaya lampu menyembul samar dari balik jendela. Pintu terbuka sedikit. Sepi sekali seperti tidak ada kehidupan disini apa Ayah sedang pergi? tapi kemana? tidak biasanya ayah meninggalkan laboratoriumnya biasanya ia akan mengoceh agar aku menjaganya saat ia tidak ada atau pergi sebentar.
    Semua firasat buruk yang tadi hanya berputar di benakku kini menyerbu dengan lebih jelas. Tidak biasanya ayah meninggalkan pintu terbuka. Tidak di jam-jam seperti ini. Aku berlari, semakin dekat ke arah pintu laboratorium, sementara langkah-langkahku bergema di sepanjang jalan berbatu kecil. Aku berharap menemukan ayahku sedang sibuk dengan risetnya seperti biasa. Tetapi begitu aku mendorong pintu laboratorium, apa yang kulihat membuat tubuhku terhenti. Ruangan itu terasa dingin, lebih dingin daripada malam di luar. Dan di sana, di tengah ruangan, di lantai penuh berkas-berkas penelitian yang berserakan, tergeletak tubuh ayahku.
   “Ayah!” Teriakanku membelah keheningan. Aku melangkah ke arah tubuhnya, tapi sesuatu menahan langkahku. Ada yang aneh. Sesuatu yang tak bisa ku gambarkan. Aku berdiri terpaku di sana, tubuh ayah terbaring tak bernyawa. Wajahnya kaku, seakan-akan membeku dalam keheningan yang sunyi. Satu hal yang segera menarik perhatianku adalah ditangan kanannya yang terkulai, ada sehelai bulu. Bulu biru. Bulu burung biru yang hanya ada satu di dunia ini burung biru yang menjadi pusat penelitian ayahku selama bertahun-tahun. Biasanya burung biru ayah hanya diam mematung di sangkar besinya tapi kulihat sekembali sangkar besi aku tidak menemukan keberadaan sang burung biru itu.
    “Ini… ini tidak mungkin,” bisikku, nyaris tanpa suara. Saat memeriksa ruangan, aku menyadari semakin banyak hal yang tidak beres. Komputer ayah menyala, layar menampilkan beberapa baris kode yang tak kumengerti. Ada sesuatu yang tersembunyi di sini, sesuatu yang lebih dari sekadar kecelakaan. Aku tak bisa mengabaikan perasaan ini. Perasaan kesal bagaimana bisa ayahku tiba-tiba terbunuh seperti ini? Dan juga perasaan sedih aku yang tidak bisa berbuat apa-apa tentang kematian ayah aku memeluk tubuh dinginnya sambil menangis terisak.
    Ketika suara langkah kaki terdengar di luar, aku tersentak. Di sana berdiri Daren, sahabatku yang selalu muncul di saat-saat yang tak terduga. Aku baru ingat kalau ada Daren di rumahku yang awalnya bertujuan untuk kerja kelompok aku tidak menyangka malah menjadi seperti ini. Matanya yang tajam memandang ke arahku dan kemudian ke tubuh ayahku yang tergeletak di lantai. Ekspresinya berubah seketika.
     "Elora, apa yang terjadi?" Suaranya rendah, nyaris berbisik, seolah takut mengganggu keheningan yang menjerat kami. Aku menoleh padanya, tak mampu berkata-kata untuk beberapa saat. Lalu akhirnya, setelah mengumpulkan cukup kekuatan, aku mulai mengeluarkan suaraku.
    “Ayah... dia...” Daren melangkah mendekat, matanya bergerak cepat, memeriksa setiap sudut ruangan. Tapi aku tahu, meskipun dia mencoba memeriksa keadaan, pikirannya pasti tertuju pada satu hal Ayahku yang tergeletak dilantai tak berdaya. Mata Daren benar-benar sama persis seperti saat aku pertama kali melihat Ayah tergeletak seperti ini, siapa yang tidak kaget jika menemukan mayat di siang bolong?
   

   "Ayah? Aku tidak terlalu dekat dengannya tidak, lebih tepatnya dia membenciku dia terus terusan berada di laboratorium semenjak kepergian ibuku, Aku tidak bisa merasakan kehangatan dan keharmonisan keluarga yang seperti ada di novel-novel aku selalu mengimpikan mempunyai keluarga yang selalu ada untuk anaknya, aku jarang berbicara dengan Ayah, saat meminta uang, dan saat ayah menyuruhnya menjaga laboratoriumnya disaat ia pergi hanya itu saja.
    Ibu? Entahlah aku tidak punya kenangan spesial darinya, aku hanya pernah mendengar ibu dari bibi dan pamanku, dia meninggal dunia karena melahirkan ku, ayahku sangat menyayanginya mungkin ini penyebab ayah terlihat seperti membenciku, karena menjadi penyebab matinya istri yang paling ia sayangi."

      "Ayah bagaimana dengan penelitian mu?"
      "Tidak ada hal yang spesial."
      "Bagaimana dengan penelitian burung biru?"
      "Perkembangannya tidak signifikan malah buruk sekali tunggu, bagaimana kau tau burung biru itu?"
       "Entahlah ayah." Aku tersenyum.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perburuan burung biruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang