Two Different Worlds I-I

14 3 0
                                    

Setelah acara penyambutan siswa-siswi tahun pertama selesai, seluruh siswa-siswi diperbolehkan kembali ke asrama masing-masing atau menjelajahi area sekolah, selama tidak keluar dari batas yang ditentukan.

Sementara banyak siswa dan siswi memanfaatkan waktu untuk berkeliling dan mengenal lingkungan baru mereka, Yuan Yiqi lebih memilih kembali ke kamar asramanya.

Asrama di sekolah itu dirancang dengan tujuan yang sangat spesifik. Setiap siswa atau siswi menempati satu kamar sendiri, sebuah keputusan yang dibuat bukan hanya demi kenyamanan, tetapi juga untuk memastikan bahwa mereka bisa fokus pada tugas-tugas akademik tanpa gangguan.

Kamar-kamar tersebut dilengkapi dengan fasilitas yang memadai, dinding-dinding tebal yang meredam kebisingan, serta pencahayaan alami dari jendela-jendela besar yang menciptakan suasana tenang dan kondusif untuk belajar maupun istirahat.

Sekolah elit ini percaya bahwa setelah seharian penuh kegiatan-mulai dari pelajaran, aktivitas ekstrakurikuler, hingga interaksi sosial yang tak terelakkan-setiap siswa membutuhkan ruang pribadi untuk memulihkan tenaga.

Kamar ini menjadi tempat perlindungan, di mana mereka bisa sepenuhnya bersantai atau mempersiapkan diri untuk hari berikutnya tanpa gangguan dari dunia luar.

Yang paling penting dari desain asrama ini adalah konsep privasi. Setiap kamar dilengkapi dengan sistem keamanan yang ketat.

Pintu kamar hanya bisa diakses oleh pemiliknya atau oleh orang-orang tertentu yang telah diberikan izin. Ini berarti, tidak sembarang orang bisa keluar masuk sesuka hati.

Kebijakan ini menjaga privasi ruang pribadi, memungkinkan siswa-siswi untuk merasakan kontrol penuh atas tempat tinggal mereka selama di sekolah.

Hanya mereka yang benar-benar dipercaya yang bisa diberi akses untuk masuk, menciptakan batasan yang jelas antara interaksi sosial di luar kamar dan privasi yang dijaga ketat di dalamnya.

Privasi adalah kunci keberhasilan itulah filosofi yang tertanam kuat di sekolah ini. Mereka memahami bahwa dalam lingkungan yang penuh dengan persaingan dan tuntutan akademik yang tinggi, ruang pribadi yang aman dan terlindungi menjadi fondasi yang tak boleh diabaikan.

Di balik pintu yang terkunci, itu adalah ruang di mana Yuan Yiqi bisa menurunkan semua topeng yang ia kenakan selama hari itu-tempat di mana ia bisa kembali menjadi dirinya sendiri, berlatih, merencanakan langkah selanjutnya, tanpa khawatir ada yang memperhatikannya. Ini adalah tempat di mana fokusnya kembali terpusat, dan misinya tetap terjaga di jalur yang benar.

Begitu sampai, tanpa banyak berpikir, Yuan Yiqi mulai berlatih fisik seperti yang biasa dilakukannya di markas mafia. Rutinitas ini sudah mendarah daging dalam dirinya, sebuah kebiasaan yang tak bisa ia tinggalkan.

Dia memulai dengan serangkaian push-up yang sudah tidak terhitung jumlahnya. Keringat mulai membasahi dahinya, tapi Yiqi tidak menghentikan gerakannya.

Baginya, tubuh yang lemah sama artinya dengan kegagalan, sesuatu yang tidak akan ia biarkan terjadi. Dia tahu bahwa jika tubuhnya akan melemah itu akan menjadi alasan terbesar bagi adiknya, untuk mengejeknya tanpa henti.

"Kalau sampai aku sedikit saja melemah," ujar Yuan Yiqi, tersenyum tipis, "Wangyi pasti akan tertawa puas dan tak akan berhenti mengolok-olokku." 

Wangyi, terkenal dengan olok-olok tajamnya yang selalu menghujani Yuan Yiqi kapanpun ada kesempatan.

Meskipun bersekolah di sini adalah bagian dari tugasnya, ia tetap tidak boleh melupakan siapa dirinya yang sebenarnya. "Fokus," bisiknya pada diri sendiri.

Selesai dengan push-up, ia berdiri dan mulai berlatih tendangan, gerakan tubuhnya lincah dan terkontrol. Suara tendangannya menghantam udara kosong, setiap gerakan memiliki tujuan.

Beyond The Shadows: Two Different WorldsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang