Awal dunia ini tercipta, tajamnya pena telah mengukir kehidupan. Menggambarkan segala kisah, suka dan duka menjadi hiasan perjalan manusia.
Manusia berencana menciptakan bahagia, menggambarkan harapan sepanjang jalan kehidupan. Namun semuanya telah diarahkan atas takdir yang ditetapkan.
Setetes demi setetes air mata pertanda hidup di dunia bukan apa yang diinginkan, melainkan menjalani takdir kehidupan.
Seperti daun yang layu, terombang-ambing oleh angin, dan pada akhirnya ditempatkan yang tak pernah ia sangka. Jatuh begitu saja di tanah, tanpa memberinya harap bisa tetap melekat kepada ranting pohon.
Welly masih ingat bagaimana harapan-harapannya dulu sebelum badai datang. Banyak kenangan indah yang ia lalui bersama semesta yang ia kira indah. Hingga ia lupa kehidupan terus berputar, membalikan segala kenikmatan menjadi sebuah luka yang begitu dalam.
Semuanya terekam jelas, setiap detiknya dihantui rasa penyesalan. Rasanya begitu menyiksa teringat masa lalu yang tak ingin dikenang.
Mata yang selalu memancarkan binar, diredupkan satu kesalahan menghancurkan banyak kehidupan. Tangan yang selalu menggenggam hangat, disentak kuat penolakan. Wajah yang menenangkan, menghujam cacian menjijikkan.
Welly merasa hancur lontaran tajam orang yang ia sangka kunci kebahagiaannya, nyatanya menjadi awal hidupnya jatuh dalam lubang derita.
Dalam ruang remang-remang, tubuh rampingnya meringkuk dalam kegelisahan. Menghalau bisik-bisikkan yang membenamkannya kelam kenangan.
Menutup kedua telinganya rapat, napasnya tercekat sampai ia lupa bagaimana untuk bersuara saking sesaknya.
Tangannya bergetar menggapai nakas di sebalah ranjang, berusaha membuka laci meja, namun apalah daya pikirannya begitu kacau bersama getaran tubuh begitu melemahkan tenaganya.
Bertepatan tubuh kurusnya hampir jatuh ke lantai, Radit yang membuka pintu kamar berusaha menangkapnya.
Radit memeluknya erat, memberikan kata-kata penenang kepada Welly yang terus meracau. Dapat ia rasakan punggungnya dicakar kuat sampai meringis dibuatnya.
“Lampiaskan semuanya kepadaku.”
Akhirnya tangis Welly pecah, terisak-isak dalam dekapan suaminya.
Butuh waktu yang lama untuk bisa membuatnya tenang dan Radit begitu sabar di sampingnya.
Tangan kekarnya dengan sigap mengambil obat di laci. Membantu Welly meminum obat khusus setiap kali hal ini terjadi, sampai akhirnya obat itu bekerja, membuat Welly terpejam dengan tenang.
Radit baru dapat bernapas sedikit lega, melihat Welly bisa beristirahat. Beberapa hari belakangan, istrinya ini selalu saja mengurung di kamar.
Jangankan untuk bertemu dengan orang rumah, makan saja maid mengantarkannya ke kamar.
Sudah lama rasanya ia tidak melihat sisi lemah Welly. Selama ini Welly berusaha tetap tegar, dan keras untuk menutupi hati yang rapuh.
Tak mau mengganggu waktu istirahat sang Istri, Radit memilih keluar dari kamar, turun ke lantai bawah yang dimana si Kembar telah menunggunya di meja makan.
Nampak raut si kembar mencari sang Mama, Radit tersenyum membalasnya.
Duduk di kursi yang biasa duduki, menatap si Kembar. “Kalian menunggu lama, ya?”Bagas dan Candra menggeleng singkat, lalu pandangan mereka mengarah ke lantai dua tempat kamar Utama berada.
“Mama lagi nggak enak badan, kita makan bertiga dulu, ya?” ucap Radit memberi pengertian.Sontak saja si Kembar menatap lesu. Selalu saja Papa mereka mengucapkan kata yang sama beberapa hari belakangan.
“Apa nggak bawa aja Mama ke rumah sakit, Pa? Udah beberapa hari Mama nggak turun-turun dari kamar,” ujar Bagas mewakili isi hati Candra.

KAMU SEDANG MEMBACA
Different [SEGERA TERBIT]
Novela JuvenilSebuah kisah dibalut luka. Tentang lara dihantam kelabu, tentang hati dikuasai pilu, hingga berakhir penyesalan tak berlalu. Lahir dengan bentuk yang sama dengan jalan takdir berbeda. Si sempurna pembawa kebanggaan, si cacat merumpangkan kebahagiaa...