"The past beats inside me like a second heart."
- John Banville
Di sebuah apartemen di tengah kota, suasana pagi terasa hangat meski matahari baru saja muncul. Suara bising kendaraan dari jalanan di bawah sudah mulai terdengar, menambah kesibukan pagi Jakarta. Jaeiden sudah terbangun, terbaring di tempat tidur yang bersebelahan dengan dinding, menghadap ke jendela besar yang memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi yang menjulang. Dia merenggangkan tubuhnya, merasakan kehangatan selimut yang menyelimuti, dan menatap langit yang mulai cerah.Setelah beberapa detik, dia menoleh ke samping dan melihat Riki yang masih terbungkus selimut, dengan posisi tidur yang absurd-muka tertutup bantal dan satu kaki melambai-lambai seperti balerina. Melihat sahabatnya dalam keadaan seperti itu, Jaeiden tidak bisa menahan tawa. "Riki! Bangun! Udah telat kita!" teriaknya, setengah bercanda sambil menggoyang-goyangkan pantat Riki dengan kakinya.
Riki, yang masih molor, tidak merespons. Justru, dia mengubah posisi tidurnya, membalikkan badan dan menarik selimut lebih dekat. "Lima menit lagi, Jaei! Please!" jawabnya dengan suara serak, seakan tidak peduli pada waktu. Suara lembut yang memelas itu membuat Jaeiden merasa sedikit bersalah, tetapi dia tahu sudah berapa kali Riki membuat mereka telat.
Jaeiden menggelengkan kepala, kesal sekaligus lucu melihat tingkah sahabatnya. "Kalau lo nggak bangun sekarang, gue siram lo!" ancamnya sambil berjalan ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Di dalam hati, dia merasa seolah hidup berdua dengan makhluk seperti Riki, seperti menjadi ayah tunggal yang bertanggung jawab atas kebangkitan dan kesejahteraan anaknya.
Setelah beberapa menit berusaha menyiapkan sarapan yang sederhana-dua piring roti bakar dan telur ceplok-Jaeiden merasa bangga dengan pencapaiannya. Ketika dia kembali ke kamar, Riki masih terbaring, kini dengan satu tangan menutupi wajahnya. "Gue tahu lo nggak bakal tega bangunin gue dengan cara itu, kan?" Riki menggoda sambil mengedipkan mata, meski dengan tatapan setengah tertidur.
"Riki, ini udah jam berapa? Kita telat!" seru Jaeiden, sedikit kesal. "Lo mau makan atau mau terus tidur?"
Tiba-tiba, suara air menyiram wajah Riki dengan 'splash' yang nyaring, menciptakan bunyi lembut namun mengagetkan. Air itu mengalir dari keran, seolah berusaha membangunkan semua yang ada di pagi itu. "JAEIIIII ANJ-"
"Eits! Jangan ngomong kasar!" Jaeiden cepat-cepat membekap mulut Riki dengan tangannya. Siraman air yang mengenai wajah Riki membuatnya terloncat kaget, menyisakan kaus dan selimut yang basah kuyup, menambah kekacauan di pagi yang seharusnya tenang.
"Lo yang bikin basah, lo yang bersihin!" teriak Riki, mengusap wajahnya yang kini basah kuyup, rambutnya berantakan seperti habis ditumpahi hujan.
"Gampang. Cepet makan, abis itu mandi! Gue ga mau kita telat lagi," Jaeiden mendesak, sudah bisa membayangkan wajah dosen mereka yang akan merengut jika mereka datang terlambat.
Setelah bergegas sarapan, Riki berusaha merapikan diri, tetapi selalu ada satu atau dua hal yang terlupakan. "Jaei, kaus kaki gue yang satu mana?!" teriaknya dengan panik, mengacak-acak area kamar yang berantakan.
"Coba cek di bawah tempat tidur lo," Jaeiden menjawab sambil tersenyum, sudah bisa nebak kebiasaan sahabatnya. Riki dengan cepat merangkak di bawah kasur, dan mengeluarkan kaus kaki yang terlihat seperti monster pelukis dengan warna-warni mencolok.
"Ya ampun, ini kayak penjahat di kartun kesayangan gue!" Riki mengibaskan kaus kaki itu seolah-olah mau beraksi. "Gue harus mengembalikannya ke dunia mereka!"
"Terserah, tapi cepet! Kita udah telat!" Jaeiden mendesak.
Setelah berpakaian dengan sedikit kecemasan, mereka berangkat ke kampus. Riki melompat-lompat di samping Jaeiden, nggak berhenti mengoceh tentang pertandingan basket yang akan datang. "Jae, gue pengen nunjukin kemampuan terbaik gue! Siapa tahu, gue bisa jadi kapten tim!"