Prolog

17 4 5
                                    

Happy reading

.

.

.

.

"Kupikir... aku menyukai Nora."

Senja baru berlalu ketika Sela mendengar itu. Bintang baru datang ketika Ares mengatakan itu. Sama seperti sebuah harapan yang padam dan muncul, cinta sepihak pada akhirnya tetap menyakiti penerimanya.

"Begitu, ya? Kenapa aku tidak menyadarinya?"

Bahkan walau miliaran bintang ada di atas kepalanya, Sela tak tertarik untuk mendongak, melihat gemerlap kecil penghias langit malam untuk mengisi kegelapan. Padahal selama ini dia menyukai bintang, padahal selama ini dia selalu bercerita pada bintang, padahal bintang tidak membuat kesalahan. Tapi, kenapa tiba-tiba dia membenci bintang?

"Bintangnya cantik, ya?"

Di antara embus angin, di rofftop sekolah, berpayung langit malam. Buncah isak tangis pecah, mengisi keheningan malam, menumpahkan segala perasaan. Sakit hati, kecewa, marah, kesal, dan lain sebagainya. Malam itu, Sela bagai jatuh dalam lautan fakta yang dalam. Dia tidak mampu berenang ke tepi, hanya bisa pasrah ketika tubuhnya semakin tenggelam ke dasar.

Kenapa diantara semua manusia, pilihannya jatuh pada Ares, teman masa kecilnya?

"Jatuh cinta itu memang tidak bisa di prediksi. Datangnya kadang tidak terduga, tapi itu menyenangkan."

Sela mendengus dingin, enggan menatap pemuda di sampingnya, "Menyenangkan? Tidak jadi menyenangkan lagi kalau itu bertepuk sebelah tangan."

"Menurutmu begitu?"

"Memangnya menurutmu bagaimana?"

Remaja laki-laki itu tersenyum, "Aku tidak tahu. Tapi, menurutku, menatapnya saja sudah cukup memuaskan. Yah, kita 'kan tidak tahu takdir. Siapa tahu sebuah kebetulan bisa menyatukan?"


To be continued ❤️

Terimakasih telah mampir. Jangan lupa vote dan komentar 🤩

𝗟𝗲𝘁𝘁𝗲𝗿 𝘁𝗼 𝗹𝗼𝘃𝗲𝗿 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang