2

157 43 1
                                    

Awalnya Mara menatap ke arah wajah tampan yang memiliki pesona luar biasa itu. Pamannya sudah lama merawatnya, menjaganya. Tapi selama itu Mara tidak pernah menemukan pamannya bersama perempuan manapun. Tidak ada yang pernah dibawa pulang dan juga tidak ada skandal apapun di internet soal pamannya. Pria itu sebersih kertas tanpa tinta. Tapi sekarang Mara harus mempertanyakan lagi sejauh apa pamannya menyembunyikan kehidupan dewasanya. Karena saat Mara menatap ke wajah pamannya, dia malah tidak sengaja menatap leher pria itu. Menemukan beberapa bekas ciuman di sana yang membuat Mara menelan ludahnya.

Sepertinya tidak hanya dia yang mengalami malam panas tadi malam. Pamannya juga sepertinya menemui kekasihnya untuk melepaskan hasratnya. Apa pamannya juga meninggalkan wanita yang dicintainya demi terus memupuk kekayaannya.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Cristian mengetuk dahi gadis itu dengan jari telunjuknya.

Mara segera duduk dengan tegak, menggosok jarinya ke dahi. "Paman Cristian, itu sakit."

Bibir Cristian berkedut dengan senyuman tertahan. Menemukan wajah tidak senang Mara yang ditunjukkannya dengan menggemaskan. "Kau menatapku seperti hendak melahapku. Itu balasannya."

Bibir itu semakin cemberut.

Cristian kembali memotong daging di depannya dengan potongan dadu kecil. Membawa beberapa potongnya ke arah piring Mara.

"Paman Cristian?" Mara berbicara dengan lembut dan hati-hati.

"Hm?" Cristian menimpali tanpa menatapnya.

"Apa aku akan segera memiliki bibi?"

Wajah Cristian berkerut tidak mengerti, dia melirik gadis itu kemudian. "Bibi?"

Mara mengangguk pelan. "Ya. Bolehkah dia datang ke sini dan dikenalkan padaku? Setidaknya aku harus mengenalnya lebih awal untuk mempersiapkan diri. Katakanlah, dia tidak menyukaiku, apa aku harus meninggalkan rumah ini? Apa kau akan menyediakan rumah lain untukku?"

Cristian meraih rahang gadis itu dengan satu tangan, menekan tangannya di rahang ramping itu, menghentika Mara dari ocehannya yang sama sekali tidak dimengerti Cristian. "Apa yang sedang kau bicarakan? Bibi apa?"

Mara bicara tapi suaranya tidak jelas karena tangan Cristian yang masih ada di rahangnya.

Cristian melepaskan tangannya kemudian, tapi matanya tidak lepas dari menatap gadis itu yang masih bersungut sakit. "Katakan, kenapa ada bibi tiba-tiba?"

Mara mendengus, memberikan gerakan dengan dagunya ke arah leher Cristian. "Bukankah calon bibiku yang meninggalkan bekas di sana?"

Cristian menyentuh ke lehernya, tidak ada rasa apapun. Tapi ingatan panas tentang malam tadi segera menyerbu ke dalam ingatannya. Dia tidak banyak mengingat, tapi satu yang dia tahu, siapapun gadis yang sudah masuk tanpa permisi ke area pribadinya itu, dia akan membayar dengan lunas. Dan bayarannya akan membuat gadis itu menangis memohon pengampunan. Cristian tidak akan memberikan celah bagi gadis itu mengacaukan hidupnya. Apalagi sampai mengacaukan otak murni Mara dengan kehadirannya.

Cristian menjentikkan jarinya ke kening Mara. "Apa yang ada di otak kecilmu itu? Tanda seperti ini juga bisa kau mengerti?"

Mara menggosok keningnya yang sakit. "Paman Cris, kau menyakitiku."

Cristian menyentuh kening itu lembut kemudian. "Makanya anak kecil jangan terlalu sok tahu."

"Aku bukan anak kecil, Paman. Aku sudah dewasa."

"Hum, sungguh sudah dewasa?"

Mara mengangguk dengan percaya diri. "Tentu dewasa. Aku sembilan belas tahun."

"Begitu rupanya." Cristian memberikan wajah penuh penyesalan. "Baiklah, karena Mara sudah dewasa maka boneka yang aku beli untukmu tidak jadi diberikan. Lebih baik disumbangkan untuk anak kecil yang lebih membutuhkannya."

"Boneka?" wajah Mara berseri. Tampak mata gadis itu diliputi kebahagiaan yang besar. "Paman membelikan aku boneka?"

Cristian mengangguk pelan dan masih dengan wajah menyesal. "Tapi mau bagaimana lagi, boneka yang ada di kamarku benar-benar harus dibawa pergi lagi. Matt!"

Mara berdiri, menatap Matt yang sudah berdiri di depannya.

"Ya, Tuan?"

"Boneka—"

"Paman Cristian, aku masih kecil. Aku mau bonekanya. Aku akan mengambilnya." Mara tidak menunggu Cristian menjawabnya. Dia sudah berlari dengan teriakan bahagia yang memenuhi seluruh ruangan.

"Tuan?" Matt masih menunggu perintah.

Cristian berwajah serius menatap kepala pelayan sekaligus tangan kanannya itu. "Apa dia baik-baik saja selama aku meninggalkannya? Dia tidak mengalami mimpi buruk atau ada yang mengganggunya?"

"Segalanya baik, Tuan. Beberapa kali dia merindukan anda dan menyuruh saya memesan tiket untuk menemui anda. Tapi nona muda juga tahu kalau dia di sana maka anda akan tidak fokus dengan pekerjaan anda. Jadi seringkali tiketnya dibatalkan."

Cristian mendesah. "Dia memang sudah dewasa. Dia tidak merengek lagi ingin aku tinggal."

"Nona muda selalu membutuhkan anda. Dia tidak butuh dengan uang dan kekayaan yang anda berikan. Nona muda hanya ingin anda di sisinya."

Cristian menatap ke arah di mana Mara menghilang. "Membutuhkan aku?" pria itu sedikit menyugar rambutnya yang panjang. "Lalu apa setelah tinggal dengannya? Apa menyentuhnya dan membuat dia ketakutan? Membuat dia tahu kalau aku benar-benar memiliki pemikiran kotor dengannya? Itu akan menjadi hal terakhir yang kuinginkan dia tahu."

Matt yang mendengar hanya bisa mendesah dengan pilu. Segalanya memang tidak sesederhana yang ada di kepala Mara. Cristian memiliki segalanya. Dia bisa mendapatkan apapun. Tapi satu-satunya hal yang tidak bisa dimilikinya adalah gadis tersebut. Sosok kecil yang selalu mampu membuat ketenangan seorang Cristian Vicent memudar. Gadis yang menjadi alasan Cristian melakukan segalanya. Satu-satunya gadis yang diizinkan Cristian masuk ke dunianya.

"Paman!" seru Mara dengan semangat.

Cristian menatap ke arah gadis itu, menemukan Mara sedang memeluk boneka panda di satu tangannya. Gadis itu semringah dengan gerakan cepat ke arah Cristian. Hal mengejutkan yang selanjutnya terjadi adalah Mara yang memeluk Cristian dengan erat. Membuat Cristian beku sesaat.

Ketika tangannya hendak meraih pinggang ramping itu, Mara sudah mundur satu langkah dan menunjukkan bonekanya yang menjadi sumber kebahagiaannya. "Terima kasih, aku suka, Paman."

Cristian meraih tangan kecil itu, memainkannya dengan lembut. "Selama kau suka."

"Paman, terima kasih. Kau selalu membawakan hadiah setiap kau kembali dari luar negeri. Kau selalu mengingatku, terima kasih."

"Apa yang kau katakan, Anak Kecil? Tentu saja aku mengingatmu dan kau berhak atas hadiah itu. Aku selalu meninggalkanmu, apa kau marah padaku?"

Maria kecewa, ya. Tapi tidak dengan marah. Dia hanya merasa Cristian menghindarinya, tapi dalam detik yang sama dia juga tahu Cristian melakukan yang terbaik untuk mereka. Jadi tidak ada ruang untuk sepenuhnya tidak senang dengan hal itu. "Tidak marah. Aku senang paman selalu kembali. Selalu tepat waktu dan tidak pernah meninggalkan aku terlalu lama. Itu berbulan-bulan tapi aku tahu paman selalu meminta Matt mengawasiku."

Mistake With Uncle (SAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang