Jakarta, 05 Januari 2023Rintik hujan mulai membasahi pagi, namun hal itu tidak menghalangi semangat seluruh siswa untuk berangkat ke sekolah. Dari jendela kelas di lantai tiga, terlihat jelas banyak siswa yang berlari menerjang hujan, berusaha menghindari cipratan air sambil tertawa dan bercanda. Jam dinding kelas sudah menunjukkan pukul 07.28, berarti tinggal dua menit lagi. Jika belum masuk gerbang, siswa akan dihukum karena terlambat.
"Jaeiden! Kamu mau melototin kaca sampai berapa lama? Fokus! Kelas mau dimulai!" Jaeiden tersentak setelah mendapat lemparan spidol dari Pak Dimas. Entah sejak kapan guru bahasa Indonesia yang terkenal tukang julid itu berdiri di depan kelas. Sejak masuk ke ruang kelas, Jaeiden hanya memperhatikan halaman sekolah melalui jendela yang berembun, sebab hujan semakin deras. Hatinya gelisah memikirkan Riku, yang lagi-lagi tidak hadir.
"Riku nggak masuk lagi?" tanya Pak Dimas sambil menunjuk kursi di belakang Jaeiden yang kosong sejak tiga hari lalu. Sebuah kursi yang biasanya dipenuhi tawa dan candaan itu kini terasa sepi, seolah mengingatkan Jaeiden pada momen-momen kebersamaan yang kini hanya tinggal kenangan.
"Kamu tahu Riku kemana? Dari awal semester nggak masuk-masuk," Pak Dimas menatap Jaeiden dengan sedikit kesal. Pasalnya, Riku tidak masuk sejak hari pertama semester, bahkan tanpa kabar sama sekali. Bagaimana Pak Dimas tahu? Selain guru bahasa Indonesia, beliau juga wali kelas 2/1, jadi segala tingkah laku siswa pasti jadi perhatian beliau.
"Enggak, Pak," jawab Jaeiden singkat, suaranya sedikit serak. Sebenarnya, ia malas berbicara, tetapi wali kelasnya sepertinya ingin berbicara lebih banyak. Jaeiden merasa terbebani dengan pertanyaan itu, seperti beban tambahan yang harus ia pikul.
"Kalian kan selalu bareng, masa nggak tahu temanmu di mana? Atau sebenarnya kalian cuma akting dekat?" Jaeiden hanya menggeleng, tidak ingin menjawab lebih lanjut. Hatinya mendidih mendengar insinuasi itu, seolah-olah ia tidak peduli dengan sahabatnya.
"Bilangin sama Riku, kalau dia nggak mau sekolah ya sudah. Keluar aja dari sekolah. Daripada nggak masuk gini, nanti Bapak bikin dia nggak naik kelas." Jaeiden menghela napas mendengar celotehan Pak Dimas. Niatnya mungkin baik, tetapi tolong, kata-katanya jangan terlalu blak-blakkan. Bahkan beliau tidak tahu alasan Riku tidak berangkat ke sekolah; seharusnya jangan berspekulasi sendiri.
"Ya sudah, kita langsung masuk ke pelajaran saja. Gak usah mikirin Riku!"
Jaeiden kembali melihat ke luar jendela setelah Pak Dimas fokus pada bukunya. Laki-laki itu memikirkan bagaimana kondisi Riku kemarin sore saat ia berkunjung ke rumahnya. Laki-laki yang dulunya ceria kini berubah menjadi sosok yang suram, kehilangan minat hidup. Di kamarnya, Riku terbaring di lantai, memegang erat foto adiknya. Matanya bengkak akibat tangisan yang tak kunjung reda selama seminggu, dan tubuhnya terlihat sangat kurus, ditambah luka lebam yang menghiasi kulitnya akibat kekerasan yang diterima dari ayahnya sejak kejadian beberapa minggu lalu.
Jaeiden merasakan hatinya nyeri setiap kali teringat betapa hancurnya Riku. Apa yang bisa gue lakuin buat Lo, Ki? pikirnya. Mereka selalu bersama, dan sekarang, melihat sahabatnya dalam keadaan seperti itu, membuatnya merasa tak berdaya. Rasanya kayak ngeliat sahabat sendiri terjebak di kegelapan, dan gue nggak bisa bantu.
"Jaeiden Arkan!!" Jaeiden kembali dari lamunannya, ia menatap Pak Dimas yang marah. "Kamu milih fokus dengan pelajaran atau keluar?!"
"Maaf, Pak." Kali ini, ia akan fokus untuk belajar; sepulang sekolah, baru ke rumah Riku lagi untuk mengecek kondisi lelaki itu. Harapannya, Riku bisa kembali seperti dulu, dan tawa mereka bisa menggema di kelas lagi.
---
Jaeiden berjalan cepat menuju halte bus dekat sekolah. Langkahnya dipercepat oleh kerinduan yang menggelora dalam hatinya untuk segera menemui sahabatnya, Riku. Ia merasakan ketegangan di dadanya, seolah setiap detik yang berlalu semakin membuatnya cemas. Namun, di tengah perjalanannya, seseorang memanggil namanya.
“Jaeiden!” seru suara yang familiar. Saat ia menoleh, terlihat Keira, pacar Riku, berlari menghampirinya dengan napas terengah-engah. Gadis itu tampak lelah, mungkin ia benar-benar berlari dari sekolah untuk mengejar Jaeiden.
"Kenapa, Kei?" Jaeiden berinisiatif mengeluarkan botol minum yang ia bawa dalam tasnya dan menyodorkannya ke Keira. “Minum dulu.”
“Makasih,” jawab Keira, menghabiskan sedikit air sebelum mengembalikan botol itu kepada Jaeiden. Nafasnya kini sudah lebih baik, meski raut wajahnya masih menunjukkan kecemasan yang mendalam.
“Gue mau nanya. Lo beneran nggak tahu Riku di mana? Gue nggak bisa ngehubungi dia,” tanya Keira, suaranya penuh harap dan cemas.
“Dari kemarin lo nanya itu mulu, gue beneran nggak tahu, Keira...” Jaeiden berusaha bersikap tenang, bahkan ia tersenyum santai meski hatinya bergetar. Dia tahu betul bagaimana keadaan Riku sekarang, tetapi ia tidak bisa memberitahukan Keira. Sejak hari pertama sekolah, Keira memang terus menanyakan ke mana pacarnya menghilang. Jaeiden merasa bersalah, tetapi ia juga merasa tak berdaya.
“Ya udah deh. Kalau gitu, gue boleh minta alamat Riku?” Keira menatapnya dengan penuh harap, seolah Jaeiden bisa memberikan jawaban yang dia cari.
“Eh, gue balik dulu ya! Buru-buru,” kata Jaeiden, berpura-pura melihat handphone seolah ada yang menyuruhnya untuk segera pulang. Ia tidak ingin Keira terus menginterogasinya tentang Riku. Jaeiden mulai mundur sambil melambaikan tangan, berusaha terlihat tidak mencolok.
Ketika ia berbalik dan berlari menuju halte bus, Jaeiden merasakan beban di hatinya semakin berat. Dia hampir saja ketinggalan bus yang baru tiba. Dengan cepat, ia melompat masuk dan mengambil nafas panjang, berusaha menenangkan diri. Jaeiden menatap keluar jendela bus, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk membantu Riku.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheonsa
Teen FictionRiku pergi tanpa pamit setelah tragedi yang mengubah segalanya-meninggalkan Keira, sahabat-sahabatnya, dan semua yang ia cintai. Kenangan-kenangan indah yang mereka bagi kini menjadi beban yang sulit ditanggung. Meski waktu terus berlalu dan jarak m...