Apa jadinya jika hanya aku yang tersisa? Jika hanya aku yang berdiri di tengah bayang-bayang kehancuran, saat semuanya telah hancur? Langkah kakiku terasa berat, setiap pijakan di tanah yang runtuh membawa getar ketakutan yang tak dapat kugambarkan. Aku berpikir, bisakah aku benar-benar bertahan di tengah kekosongan ini, atau aku akan terjerumus lebih dalam ke dalam kekacauan yang tak terelakkan?
Aku selalu tahu. Dari awal, aku tahu siapa yang menjadi akar dari semua bencana ini. Wajahnya selalu samar di balik setiap tragedi yang menimpa hidupku, tapi aku tahu itu dia. Moon Bi. Dia yang merenggut semuanya dariku. Menghancurkan masa depanku dengan jari-jarinya yang tak terlihat, menghapus semua hal yang kucintai seperti mencoret tinta di atas kertas yang tak berguna. Tapi siapa yang akan mendengar kisahku? Siapa yang mau percaya?
Dalam setiap napasku, aku merasakan bayangan ketakutan yang menjalar di sekujur tubuhku. Aku tahu, aku terlalu lemah untuk melawan. Bagaimana aku bisa menghadapi kekuatan yang begitu besar? Apa yang bisa kulakukan selain menyaksikan diriku perlahan-lahan tenggelam dalam kehancuran ini?
Kekuatan. Itu yang kubutuhkan. Bukan sekadar keberanian atau tekad yang kerap dipuja-puja. Aku butuh sesuatu yang lebih, kekuatan yang bisa menyaingi dia. Aku butuh kekuatan untuk menghancurkan. Bukan untuk bertahan, tapi untuk membalas. Sama seperti dia yang telah menghancurkan hidupku tanpa ampun.
"Moon Bi," bisikku pada kehampaan, nama itu terukir dalam pikiranku, seolah menjadi mantra kegelapan yang harus kuhafal dengan sempurna. "Aku menantikan kehancuranmu."
Bibirku bergetar saat mengucapkan kalimat itu, namun ada kepuasan yang aneh di dalamnya. Sama seperti caramu merenggut segalanya dariku, aku akan mengikis habis setiap mimpi dan harapan yang pernah kau genggam. Setiap kebahagiaan yang pernah kau nikmati akan kubalikkan menjadi neraka. Aku akan memastikan kau merasakan derita yang sama. Bahkan lebih.
Dalam sunyi, aku menatap hamparan di hadapanku—puing-puing dan tubuh-tubuh yang telah kaku, perlahan berubah menjadi debu. Mereka yang pernah menjadi bagian dari kehidupan ini, kini tak lebih dari kenangan yang terlupakan, perlahan dihapus oleh waktu. Jasad-jasad itu mengering, menghilang dari pandangan, terhisap oleh angin yang seolah ingin membersihkan jejak kehancuran yang telah terjadi.
"Jasadmu... sungguh menyedihkan." Kata-kata itu melayang dalam benakku, namun tak ada yang mendengarnya. Tak ada lagi yang bisa mendengar. Aku berdiri di atas tanah yang dipenuhi mayat, seolah aku adalah penguasa dari kehancuran ini. Tapi apa yang sebenarnya kupimpin? Kekosongan? Kesendirian?
Aku menatap ke bawah, menatap jasad-jasad yang tak lagi memiliki arti. Tubuh-tubuh itu, dahulu mungkin penuh harapan, kini tak lebih dari debu yang siap lenyap terbawa angin. Kehidupan mereka berakhir tanpa arti, seolah tak pernah benar-benar ada. Sama seperti aku yang berdiri di sini, kehilangan arti dari segala yang pernah kukenal.
Perlahan, aku merasa ada sesuatu di dalam diriku yang retak. Sesuatu yang rapuh, yang tak mungkin dipulihkan. Apa itu? Kepercayaan? Harapan? Atau mungkin jiwaku sendiri yang mulai tercerabut dari realitas? Aku tak bisa menemukan jawabannya, tapi aku tahu—pada akhirnya, aku takkan ada bedanya dengan mereka.
Aku memilih untuk menghilang. Tidak, bukan menghilang secara fisik, tapi lenyap dari semua yang pernah kupahami. Aku membunuh diriku sendiri secara perlahan—membiarkan setiap bagian dari diriku terhapus, menghilang satu per satu. Biarlah semua jejak kehidupanku lenyap seperti debu yang berhamburan. Biarlah dunia melupakan bahwa aku pernah ada. Mungkin, dalam lenyapnya aku, akan ada kedamaian. Sebuah ketenangan yang tak pernah kurasakan di tengah kekacauan ini.
Aku menutup mataku, merasakan angin yang dingin menerpa wajahku. Debu-debu yang beterbangan di sekitar jasad itu terangkat ke udara, berputar-putar seakan mencoba menyapu bersih semua bukti dari tragedi ini. Aku berharap, ketika angin terakhir itu membawa sisa-sisa diriku pergi, tidak ada yang tertinggal.
Tapi… mungkinkah tak ada jejak yang tersisa? Bisakah aku benar-benar melupakan dan dilupakan?
Dalam kehampaan itu, hanya satu hal yang tersisa: rasa benci yang tak terpadamkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mission to Destroy
AdventureApa jadinya jika hanya aku yang tersisa? Jika hanya aku yang hidup sementara semua yang lain hancur? Mampukah aku bertahan di tengah bayang-bayang kehancuran ini? Atau justru semakin tenggelam dalam kekacauan yang tak terelakkan? Aku tahu. Dari awal...