Viola menatap cermin di kamarnya, memantulkan sosok gadis remaja dengan mata cokelat besar yang sayu. Rambutnya yang panjang terurai, kusut, dan tak terawat, seakan mencerminkan kekacauan yang berkecamuk di dalam hatinya. Hari ini, seperti biasanya, ia merasa kesepian dan terasing.
Sejak kecil, Viola selalu merasa ada yang kurang dalam dirinya. Orangtuanya, terutama ibunya, memiliki harapan yang sangat tinggi padanya. Mereka menginginkan Viola menjadi seorang dokter yang sukses, mengikuti jejak sang kakek. Namun, Viola memiliki mimpi yang berbeda. Ia lebih tertarik pada dunia seni, khususnya melukis.Kuasnya adalah sahabatnya, dan kanvas adalah dunianya di mana ia bebas mengekspresikan segala perasaan.
Setiap kali Viola mencoba berbagi minatnya dengan orangtuanya, selalu saja berakhir dengan perdebatan sengit. Ibunya akan mencibir, mengatakan bahwa melukis hanyalah hobi yang tidak akan menghasilkan uang. Ayahnya, meski lebih pendiam, juga tidak mendukung penuh mimpinya. Mereka terus saja mendesaknya untuk fokus pada pelajaran, mengikuti les tambahan, dan mengabaikan bakatnya dalam melukis."Kamu harus realistis, Viola," kata ibunya suatu ketika. "Dokter adalah profesi yang mulia dan menjanjikan. Jangan sia-siakan potensimu."
Viola hanya bisa terdiam. Ia merasa seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas, berusaha sekuat tenaga untuk terbang bebas, namun selalu ditarik kembali ke tempatnya.
Suatu sore, Viola sedang asyik melukis di kamarnya ketika ibunya masuk. "Sudah berapa lama kamu duduk di sana hanya untuk mengotak-atik cat-cat itu?" tanya ibunya ketus.
Viola menghentikan kuasnya, jantungnya berdebar kencang. "Aku hanya..."
"Hanya membuang-buang waktu!" potong ibunya. "Kapan kamu akan mulai belajar dengan serius? Ujian akhir semester sudah dekat!"
Viola merasa air matanya mulai menggenang. Ia merasa tidak pernah cukup baik di mata ibunya. Tidak peduli seberapa keras ia berusaha, ibunya selalu saja menemukan kekurangannya.
Malam itu, Viola berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Ia merasa sangat kesepian dan terasing. Ia bertanya-tanya, apakah ada orang lain yang merasakan hal yang sama seperti dirinya? Apakah ia akan selamanya hidup dalam bayang-bayang harapan orangtuanya?
Viola tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa terus-menerus membiarkan dirinya terjebak dalam situasi ini. Ia harus berani untuk memperjuangkan mimpinya, meski itu berarti harus melawan orangtuanya.Namun, bagaimana caranya? Viola masih belum menemukan jawabannya.
Viola merasa semakin tertekan dengan harapan orang tuanya. Ia mencoba berbicara dengan ayahnya, berharap mendapatkan dukungan, namun ayahnya hanya menasihatinya untuk lebih fokus pada pelajaran. Merasa putus asa, Viola akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan.
Ia mendaftar kursus melukis di akhir pekan. Sembunyi-sembunyi dari orang tuanya, Viola menghabiskan waktu luangnya untuk mengembangkan bakatnya. Setiap coretan kuas terasa seperti pembebasan. Di sana, ia bertemu dengan teman-teman seniman lain yang memberikannya dukungan dan semangat.Suatu hari, Viola mengikuti sebuah kompetisi melukis remaja. Dengan penuh semangat, ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menciptakan karya terbaik. Hasilnya pun tidak mengecewakan, lukisannya berhasil meraih juara kedua.
Penuh harap, Viola membawa pulang pialanya dan memajangnya di kamarnya. Ia berharap orang tuanya akan bangga padanya. Namun, reaksi mereka jauh dari yang diharapkan. Ibunya hanya berkomentar singkat, "Lumayanlah, tapi jangan sampai melupakan pelajaranmu."
Viola merasa hatinya hancur. Ia menyadari bahwa orang tuanya mungkin tidak akan pernah mengerti mimpinya. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk mengambil keputusan yang sulit.
Ia mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan orang tuanya. Dengan suara bergetar, Viola mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan kuliah di jurusan seni rupa. Suasana menjadi tegang. Ibunya langsung marah dan menuduh Viola tidak menghargai pengorbanan mereka. Ayahnya hanya diam, terlihat kecewa.
Setelah perdebatan panjang, Viola akhirnya berhasil meyakinkan orang tuanya untuk membiarkannya mengejar mimpinya. Meskipun berat hati, mereka akhirnya memberikan restu.
Episode Terakhir: Menuju Masa Depan
Viola berhasil masuk ke universitas seni rupa yang ia impikan. Ia sangat bersemangat untuk belajar dan mengembangkan bakatnya. Selama kuliah, Viola banyak menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Lukisannya dipamerkan di berbagai galeri, dan ia bahkan berhasil menjual beberapa karyanya.
Beberapa tahun kemudian, Viola telah menjadi seorang seniman yang sukses. Lukisannya dikenal karena keunikan dan keindahannya. Ia sering mengadakan pameran tunggal, dan karyanya dikoleksi oleh banyak orang penting.Suatu hari, Viola mengadakan pameran besar di sebuah galeri terkenal. Orang tuanya datang untuk mendukungnya. Saat melihat karya-karya anaknya yang dipajang di dinding galeri, air mata haru mengalir di pipi ibunya. Ia akhirnya menyadari bahwa Viola memiliki bakat yang luar biasa dan ia bangga padanya.
Viola memeluk ibunya erat-erat. "Terima kasih, Ma. Karena kamu, aku bisa menjadi diriku sendiri," ucap Viola.
Viola membuktikan bahwa dengan kegigihan dan keyakinan, kita bisa meraih mimpi kita, meskipun harus menghadapi banyak rintangan. Kisahnya menginspirasi banyak orang untuk berani mengejar passion mereka dan tidak takut untuk berbeda.
>>>
Kisah Viola mengajarkan kita bahwa penting untuk mendukung mimpi anak-anak kita, meskipun itu berbeda dari harapan kita. Dengan memberikan dukungan dan kebebasan, kita dapat membantu mereka tumbuh menjadi individu yang mandiri dan sukses.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Remaja dan Harapan orangtua
Ficção Adolescente"Kamu itu harusnya menjadi seperti mereka , biar bisa membanggakan kami"-orangtua. trials of the youth ~ Para Remaja dengan ketakutan serta kesedihannya,yang selalu tersenyum bahkan tertawa kepada semua orang kecuali dengan jiwa raga nya sendiri,ket...