Satu

15 1 0
                                    

Dua tahun yang lalu..

Jam dinding menunjukkan angka 01.00 malam. Gelap, dan hanya cahaya lampu tidur yang masih menerangi seisi ruang kamar. Tiada suara lain selain suara detik jam, suara bising AC, dan suara nafasku.
Aku bernafas. Masih bernafas. Mataku terbuka lebar. Jantungku berdetak normal. Ragaku hadir di sini. Namun jiwaku tidak. Mataku menatap kosong langit-langit kamar. Isi kepalaku sibuk dan ramai sekali. Banyak wajah-wajah berkeliaran. Suara-suara riuh rendah hingga teriakan yang semuanya ingin didengarkan. Hingga aku bingung, kepala serasa berkeliling seperti sedang berada di atas kapal saat badai terjadi. Aku berusaha untuk memejamkan mata, dengan harapan tertidur pulas. Aku berharap semua diam dan biarkan aku sendiri. Tapi yang ada malah serasa sebongkah palu dipukulkan ke kepalaku bertubi-tubi. Hingga tanpa sadar aku menjambaki rambut panjangku sendiri dan membentur-benturkan kepalaku ke tembok untuk menghilangkan palu sialan itu. Tanpa sadar juga pipi ini basah karena air mata berlinang. Entah apa yang kutangisi. Kebodohanku? Kesialanku? Ketidakberdayaanku? Atau mungkin ketidakbergunaanku di muka bumi ini.
Semua terhentikan dengan pelukan hangat dari seorang pria yang terbangun dari tidurnya. Pria itu pria yang kucintai selama ini dan sepertinya ia pun sangat mencintaiku. Aku beruntung memiliki Juan.

Entah aku bermimpi apa malam ini. Tapi tengah malam aku terbangun saat mencari selimut. Kucari tangan Ilona yang harusnya tidur tepat di sampingku, namun tidak kutemukan. Terdengar suara benturan kecil yang berulang ke tembok. Aku beranikan diri untuk bangun dan membuka mata. Kulihat pemandangan cukup mengerikan. Ilona, entah siapa itu seorang wanita yang harusnya adalah Ilona yang kukenal cantik jelita, kini berubah menjadi wanita yang mengerikan. Rambut panjangnya kusut semrawut acak-acakan. Tatapan matanya kosong. Kepalanya ia bentur-benturkan sendiri ke tembok. Aku tidak tega sekali melihatnya seperti ini. Apakah ia kerasukan? Iblis jahat dari mana yang tega merasuki istriku? Ya Tuhan, hentikanlah semua ini. Aku peluk erat ia, beberapa menit belum juga tersadar. Kuciumi kening dan bibirnya. Rupanya ia juga menangis. Menyedihkan sekali rasanya ketika menjadi suami tapi istriku masih menangis.

"Ilona, sayangku. Tenangkan dirimu. Aku ada di sini." Ujarku dengan penuh cinta sembari memeluknya.

------

Sekarang...

  Genggaman eratnya cukup menenangkanku. Aku gugup ketika menunggu giliran untuk dipanggil. Juan tersenyum lembut untuk meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Namun tetap saja jantungku berdegup kencang, tanganku berkeringat dingin. Sesekali ia mengusap rambut dan punggungku. Tapi tidak mengubah kenyataan bahwa aku cemas.

"Nyonya Ilona!" Teriak perawat yang memanggil dari dalam ruang pemeriksaan.

Aku menatap mata Juan seperti untuk terakhir kalinya. Aku memberanikan dan menguatkan diri untuk berjalan menuju ruang yang sebenarnya tidak ingin aku kunjungi. Sesekali menghela nafas panjang agar aku tidak tampak gugup. Berat langkah ini, namun harus aku lakukan hingga sampai aku meraih pintu itu. Menghela nafas panjang lagi dan kugeser pintu itu.

"Dengan Nyonya Ilona? Silakan duduk." Sambut seorang pria yang berusia sekitar 40-an awal dengan ramah.

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Kuraih kursi di depan meja dokter tersebut, kurasakan dinginnya besi yang lebih dingin dari tanganku. Aku mulai duduk. Senyum dokter itu membuatku sedikit tenang. Mungkin beliau tahu bahwa aku sedang gugup menghadapi pemeriksaan ini.

Ini bukanlah pertama kalinya. Tapi, aku selalu gugup, cemas akan apa yang harus aku katakan. Aku tidak tahu aku harus bercerita mulai dari mana. Semua terasa terlalu abstrak.

"Nyonya Ilona. Apakah ini pertama kalinya Anda periksa di sini? " Tanya dokter itu sembari mengecek data rekam medisku.

"Betul." Jawabku singkat. Karena memang pada dasarnya aku tidak bisa banyak bicara.

"Di sini, Anda dinyatakan mengalami gangguan kecemasan menyeluruh atau GAD (generalized anxiety disorder). Sejak kapan Anda didiagnosa gangguan ini? "

"Dua tahunan yang lalu. Entah sedari kapan saya menderitanya. " Jawabku sembari tersenyum sedih.

"Baiklah. Apa yang Anda rasakan saat ini? "

Inilah momok menakutkan bagiku. Pertanyaan ini. Aku bingung, dan selalu bingung dengan perasaanku sendiri. Aku tidak mengerti, aku tidak mengenali diriku dengan baik. Aku baru saja menyadari setiap kali ada pertanyaan seperti ini. Bahwa aku tidak bisa melihat diriku.

Aku menghela nafas panjang. Namun nafasku semakin berat. Sesak tercekat. Tapi untungnya aku masih bisa bernafas. Tiba-tiba mataku panas dan mulai berkaca-kaca. Aku tidak ingin terlihat lemah dengan menangis di depan orang lain, sekalipun dia adalah dokter yang menanganiku.

"Sejujurnya saya bingung." Jawabku setelah beberapa menit aku hanya terdiam membisu. Menata hati dan pikiran.

"Kalau masih terpikirkan sesuatu yang berat, saya masih sering sakit kepala dan tengkuk saya berat rasanya. Asam lambung juga naik." Jawabku setelah mengais ingatan yang ada di kepala. Ya, yang kuingat hanya rasa sakit fisik yang sering kukeluhkan.

"Apakah masih sering cemas? Susah tidur?"

"Tidak, obat ini sudah lumayan membantu saya. Tapi saya masih sering gugup menghadapi orang lain."

"Baiklah, pelan-pelan saja. Saran dari saya, tulis saja semua apa saja yang pernah Anda rasakan, saat itu juga. Ketika sedih, kecewa, marah, atau emosi apa saja, tuangkan ke dalam tulisan ke buku catatan kecil sehari-hari." Ungkap psikiater itu sambil menuliskan resep obat yang akan aku minum rutin.

"Seperti buku diary?" Tanyaku memastikan.

"Ya, kurang lebih seperti itu."

"Apakah obat saya sudah bisa berkurang dosisnya?"

"Belum. Tunggu sampai stabil dulu, ya. Jangan terburu-buru. Minum rutin sesuai resep. Kalau ada keluhan segera kembali lagi ke sini." Pesan psikiater tersebut ketika aku beranjak pergi mengambil resep dan akan keluar ruangan.

"Baiklah, terimakasih banyak, Dok." Pamitku keluar ruangan.

Juan menunggu di luar, lalu datang menyambutku dengan senyuman manisnya sembari memegangi anak semata wayang kami, Marcel, yang tidak bisa diam tingkahnya.

"Sudah? Lanjut ke farmasi kan?" Tanyanya menebak. Karena sudah lebih dari dua tahun berobat dan pasti harus mendapatkan obat di bagian farmasi.

Aku pun mengangguk.

Seringkali aku merasa takut kehilangan Juan karena aku mengalami gangguan jiwa seperti ini. Takut ia tidak sabar lagi menghadapi aku. Takut kalau di luar sana mungkin banyak yang ingin menggantikan posisiku menemani Juan. Ya, aku memang sering takut, banyak sekali pikiran-pikiran akan kemungkinan terburuk yang berseliweran di kepala. Itu terjadi sejak aku kecil. Saat aku kecil ketika orang tuaku bepergian tanpaku, pikiranku selalu saja mengatakan hal terburuk, seperti mereka akan meninggalkan aku dan pergi ke suatu tempat untuk selamanya, atau mereka mungkin mendapati masalah di jalan seperti kecelakaan atau musibah apa yang menimpa mereka hingga mereka meninggal. Aku selalu berusaha mengusirnya dari dalam kepalaku. Dengan kata-kata, "itu tidak mungkin, itu tidak mungkin! " Aku selalu menenangkan diriku sendiri sejak kecil.

Kami bertiga berjalan bergandengan tangan. Mungkin orang lain yang melihat kami jadi iri dengan kemesraan keluarga kecil kami dan tidak menyangka bahwa aku sedang sakit. Tidak ada orang yang tahu kecuali suamiku bahwa aku menderita gangguan jiwa.

Aku Ingin Hidup NormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang