Empat

1 1 0
                                    

Disclaimer: cerita ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk mendiagnosis diri sendiri. Jika memang ada tanda-tanda yang mirip segera cari bantuan profesional.

Masih di dua tahun yang lalu..

Dengan berat hati aku berangkat ke RSUD salah satu kota kecil di Kalimantan. Jika tidak diantar oleh Juan aku tidak akan berangkat. Di sana aku mendaftarkan diri untuk konseling ke poli psikologi. Perasaan campur aduk menerpa hatiku. Perasaan malu dan takut yang mendominasiku saat ini.

Setiap tatapan mata yang tertuju padaku terasa mengintimidasi. Seolah bisa membaca pikiran orang lain, aku melihat mereka mengatakan, "Kenapa orang ini? Dasar orang yang lemah! Mental lembek! Punya masalah malah ke psikolog, emang kamu gak punya Tuhan?" Dan masih banyak lagi cacian dan makian yang ditujukan kepadaku. Meskipun itu hanya ada di dalam pikiranku. Tapi terasa nyata adanya.

Selang beberapa waktu berlalu, giliran namaku dipanggil tiba. Aku diberikan pertanyaan apakah sudah pernah melakukan konseling di situ, apakah ada yang perlu dibantu. Dan aku jawab, "ya, saya butuh bantuan Anda, saya belum pernah kesini sebelumnya." Lalu psikolog paruh baya itu memberikan beberapa lembar kertas yang harus diisi olehku. Aku ijin keluar ruangan, lalu mengisi lembaran-lembaran kertas assessment itu di samping Juan yang sedang mengajak bermain Marcel.

"Apakah harus diisi dengan jujur dan benar?" Tanyaku yang sebenarnya tidak perlu dijawab.

"Isi dengan jujur, bagaimana bisa mereka memberi penilaian terhadapmu kalau kamu tidak jujur?"

"Masalahnya, aku tidak ingat, yang aku ingat hanyalah aku sering sakit akhir-akhir ini, sakit kepala, tengkuk berat, mata panas, tidak bisa tidur, akhirnya imunku melemah." Jawabku sambil mengingat-ingat.

"Ya itu termasuk, tulis dan kasih centang aja di kolom-kolom itu, lalu bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini. Sedih, kecewa, marah atau bahagia atau bagaimana?" Jelas Juan sambil menunjuk-nunjuk kertas yang seperti lembar survei.

"Hmm.. Perasaan, biasa aja aku ini. Normal dan manusiawi, tapi memang sering sedih dan kecewa, sih." Aku mulai memberikan tanda centang di beberapa pilihan emosi yang dirasakan.

Lalu aku berhenti pada suatu pertanyaan, "Apakah Anda sering menangis?" Lalu aku bertanya pada Juan, "Bagaimana dengan pertanyaan ini, menurutmu aku sering menangis gak?"

"Sering, banget. Kamu sensitif sekali akhir-akhir ini. Entah itu terharu, melihat hal menyedihkan, atau teringat masa lalu, semuanya kamu menangis. Bahkan kamu sering menangisi diri sendiri. Kamu sering bilang hidupmu, dirimu menyedihkan. Itu membuatku sedih." Jawab Juan sambil menggenggam tanganku. Aku mengambil nafas dalam-dalam. Mencoba mengingat itu semua. Ternyata aku memang sering melakukan itu tapi masih sering kupungkiri.

Lalu aku beralih ke pertanyaan lainnya. "Apakah Anda ada kecenderungan menyakiti diri sendiri atau orang lain?"
"Bagaimana dengan ini?" Tanyaku ragu, aku tidak merasa melakukan itu tapi entahlah bagaimana menurut Juan. Karena bisa jadi ingatan atau penilaian terhadap diriku sendiri itu salah.

"Jelas, kamu sudah mulai menyakiti diri sendiri dan orang lain. Contohnya kamu sering memukuli kepalamu dan membentur-benturkan kepala ke tembok. Itu yang pertama. Kedua, kamu sering kali menyakiti perasaanku dengan kata-kata yang menyakitkan. Tidak sadar? Kamu melakukannya mungkin tidak secara sadar dan aku tidak langsung mengatakan karena emosimu masih meledak. Belum dingin. Kalau sekarang kamu dalam keadaan dingin. Bisa diajak bicara dengan tenang." Jelas Juan panjang lebar dan aku jadi heran dengan diriku sendiri.

"Oh iya, yang ketiga. Kamu beberapa kali marah dan jengkel, lalu melampiaskan ke Marcel, entah itu memukul, mencubit, mendorong, dan berteriak ke Marcel. Anak sekecil ini, dan kamu adalah ibunya. Coba diingat kembali dan bagaimana perasaanmu tentang hal itu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Ingin Hidup NormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang