Prolog:
"Gimana, Ma?" tanyaku pada si mama yang sedang terbaring berhadap wajah. Di kala sedang bertemu dalam sebuah ikatan terlarang, dan mengharuskan aku menjadi budak dari segala keinginan mama setiap malam.
"Enak sayang, mama enggak meragukan kamu lagi kalau soal begini. Tapi ingat ya sayang, jangan sampai ada yang tahu tentang hubungan kita."
Aku mengangguk sambil mengecup kening mama yang sedang berlinang air keringat. Kami sama-sama lelah dan capek, karena aktivitas malam ini begitu mengguncang dipan. Saat pertama mengenal mama Lastri, aku sudah memberikan sebuah kemistri kalau kami akan merasa dekat dan menjadi spesial.
Ternyata benar, sampai saat ini rasa cinta itu bertembah besar dan menciptakan rasa di antara kami. Ikuti kisah percintaan aku dengan mamaku bernama—Sulastri, wanita yang di kenal sangat gemoy di kampungnya, dan mampu membuat aku merem melek kalau sudah merasakan sentuhan darinya.
***
Sandi POV"Sandi ... cepat bangun, ayah mau berkemas karena kita akan segera berangkat," teriak ayah dari luar kamar, seketika aku membuka mata dan menarik napas panjang.
"Ayah mau ngapain sih, aku lagi capek ayah. Kalau memang mau pergi ya udah silakan pergi sendiri," jawabku seraya menutup wajah dengan selimut lembut warna merah bercorak anime.
"Yakin kamu mau di rumah aja? Soalnya, ayah mau pindah rumah dan gak akan menempati rumah ini lagi."
Seketika aku tersentak mendengar ucapan itu. Dengan membangkitkan badan secara cepat, aku melompat dari atas dipan dan segara menuju ke ambang pintu. Suara decak kaki mondar mandir, akan tetapi yang aku lakukan saat itu hanya menatap ambang pintu tanpa kepo untuk membuka. Ini adalah trik yang sering di gunakan oleh ayah, lelaki berewokan di wajahnya.
Dia selalu saja berkata dengan tidak serius, mungkin karena dia selalu menganggap aku anak kecil sampai-sampai tak mau mendewasakan aku sebagaimana anak laki-laki yang lainnya. Namun, karena suara itu tidak kunjung berhenti, akhirnya aku pun membuka pintu kamar dan melihat beberapa koper sudah tersusun rapi di sepanjang meja makan sampai menuju pintu luar kosan.
Kehidupan kami yang memang selalu berpindah tempat, karena ayah adalah seorang angkatan darat dan kehidupan kami tak pernah menetap. Dia adalah pria duda, memiliki satu anak yaitu aku saja. Perkenalkan, namaku adalah Sandi Prakasa Syahputra. Sekarang sudah duduk di bangku SMA kelas sebelas, dan lagi sibuk sibuknya dengan ujian tengah semester.
Akan tetapi, ayah malah mengajak aku untuk berkemas seraya menuruti semua dinasnya. Tidak mencoba menetap di sini saja sambil sekolahku selesai dulu. Itu adalah hal yang aku inginkan, karena sekarang aku sudah sangat akrab berteman dengan sahabat yang lainnya. Bersama wajah yang sangat lesu serta lemah, aku berjalan menuju ayah di bangkunya.
Dia menoleh ke arahku, sambil berkemas satu sama lain dan sibuk pada tas tasnya yang berukuran sangat besar. Aku pun mendekat semakin mendekat, langkah kaki berhenti di sebuah meja makan dan akhirnya aku mendudukkan badan di sebuah kursi. Ayah menoleh, kemudian tersenyum terpaksa seperti orang yang banyak beban.
Ya, namanya juga seorang tentara pasti dia tidak mau memperlihatkan kalau dirinya sedang sedih atau bahkan banyak pikiran. Dengan tangan kanan yang kasar itu, ayah mengelus kepalaku sambil mengembuskan napas panjang.
"Sayang, kamu kenapa diam aja nak? Ayah hanya minta kalau kamu akan membantu saat ini aja, biar kita cepat kelar dan segera pindah dari rumah ini," papar ayahku.
"Kita mau pergi ke mana emangnya yah, bukannya kita masih banyak waktu lagi di sini. Katanya, ayah berjanji akan tetap berada di sini sampai Sandi benar benar lulus sekolah," jawabku senggugutan.
"Iya itu adalah kata kata ayah dulu, tetapi ini sudah tuntutan ayah sebagai seorang tentara. Kamu harus paham, dan dapat menghargai keputusan ayah," katanya seraya berpaling ke arah koper lagi.
Aku menarik napas panjang, kemudian langkah kakiku menapak menuju sebuah kamar yang sangat dekat dari jarak semula. Lalu, dengan sangat berat hati memasukkan semua pakaian dan beberapa foto ke dalam koper, terhitung dari saat ini kalau kami sudah sepuluh kali pindah rumah. Itu adalah hal wajar dan sangat lumrah, karena kalau di tolak aku tidak mau menjadi anak durhaka,
Entah ke mana kami akan pergi selanjutnya. Kemudian aku pun memasukkan baju dan perlengkapan lainnya. Dan sekarang sudah beres, dengan sangat berat hati aku berjalan ke luar menuju ayah lagi, dia menunggu aku sambil menenteng koper koper miliknya. Ternyata kami telah di tunggu oleh beberapa orang asing di luar, yang aku tidak kenali.
Sebelum pergi dan ke luar dari rumah ini, kedua bola mataku tertuju lagi ke dalam rumah. Lalu kedua kaki ini berlari masuk seraya menuju kamar, tepat di laci akhirnya sebuah foto terlihat jelas kalau itu adalah wajah mama. Dia sangat cantik kala masih muda, akan tetapi sudah bercerai sama ayah karena banyak sekali problem dalam rumah tangga mereka.
Akhirnya aku mengambil foto itu dan memasukkan ke dalam tas, ini adalah saatnya aku kembali ke luar untuk segera masuk ke dalam mobil. Ayah menutup pintu kendaraan sebelah kanan.
Ceklek!
"Jalan, Mas," ucapnya sangat mendayu pada seorang supir di depan sana.
Aku menatap perlahan ke arah rumah yang perlahan menghilang, bersama dengan jutaan kenangan dan juga berbagai masalah telah di hadapi di dalam sana. Salah satunya adalah bagaimana aku memahami kalau perpisahan itu sangat pahit, selamat tinggal sahabatku dan selamat tinggal kenangan.
Dalam sebuah forum chat, aku mengucapkan kata perpisahan di sepanjang jalan karena tidak dapat memberikan kabar pada mereka terlebih dahulu. Keputusan ini sangat mendadak, dan ayah juga tidak mengatakan apa pun padaku sebelumnya. Semua sahabat menangis mendengar berita itu. Mau gimana lagi, semua adalah takdir menjadi anak seorang tentara angkatan darat.
Tepat di tengah perjalanan, aku menoleh ke wajah ayahku yang sedari tadi murung dan diam. Dia seolah membisu, lalu menoleh ke arahku dan paham sedang di lihat sedari tadi. Kemudian dia mengelus rambutku lagi, kami saling tukar tatap dan akhirnya aku pun merasa nyaman sedikit.
"Apakah kau menyesal telah ikut pergi bersama denganku?" tanya ayah secara spontan.
Aku menggeleng kepala saja, tanpa menjawab sedikit pun apa yang dia katakan.
"Baguslah, kalau kamu memang paham akan keadaan ayah. Jangan khawatir, kamu akan mengenal seorang wanita yang baik seperti ibu kamu itu. Dia yang akan merawat kamu sampai kamu kuliah dan besar nanti," paparnya.
"Emangnya aku belum besar ya di mata ayah? Kan, sekarang aku udah kelas sebelas, udah gak pantas di manja sama siapa pun," pungkasku.
"Hmm ... akhirnya kamu memahami kalau kau sudah besar nak, tetapi percayalah kalau akan ada yang membuatmu merasa tidak kesepian, dia mampu memberikan kebahagiaan buat ayah. Nanti kau akan tahu orangnya siapa, dia begitu indah di pandang."
"Apakah dia adalah saudara kita ayah?" tanyaku penasaran.
Ayah menggeleng saja. Lalu, dia menjawab, "lebih dari itu, dan sekarang kamu tidur saja di pundak ayah kalau memang mengantuk."
Sandaran itu aku pergunakan sangat baik. Perihal wanita yang di jelaskan ayah barusan, sangat membuat aku penasaran. Bagaimana tidak, untuk menerima wanita lain setelah mama rasanya tidak mungkin. Kami pernah cek cok sampai menguras waktu dan tenaga karena aku tidak setuju dia akan menikah lagi, dan akhirnya batal. Tapi aku rasa kali ini dia tidak akan mengulangi kesalahan itu, karena sudah berjanji akan menduda sampai kapan pun.
Karena sangat nyaman, aku pun terlelap juga lama kelamaan dan akhirnya kami telah tiba di sebuah tempat. Berhentinya mobil membuat aku terbangun, hentakan itu terdengar jelas di telinga ini. Seraya membuka kedua bola mata, aku pun melihat ayah yang sudah turun lebih dulu. Akhirnya mau tidak mau aku membantu dia untuk mengangkat barang-barang miliknya.
"Sandi, bantu ayah mengangkat koper ini. Kita letakkan di teras rumah ya sayang," ucap ayahku sangat bersemangat.
Bahkan semangatnya berubah berkali lipat sejak tiba di rumah asing ini. Berwarna biru muda, dan tengah ada seorang wanita di ambang teras sana sambil memegang koper milik kami, kecurigaan itu pun datang begitu saja.
"Selamat datang, Mas," ucap wanita itu.
Bersambung ...