**
Plak!
Sadar dari lamunan tidak berdasarnya, Chio meringis setelah Azura memukul lengannya dengan agak kencang. Chio baru tersadar, air di dalam botol dotnya meluber keluar. Membasahi lantai rumah. Mata si mungil menatap tak enak ke arah Lea dan Renja. Buru-buru Chio mematikan kran dan berlari ke dapur untuk mengambil lap.
"Jangan main fisik, Kak," tegur Renja. Lagi-lagi, Azura berdecak malas. Ia tidak suka diatur-atur. Selama ini, Chio sudah cukup ia perlakukan dengan lembut. Anak itu akan menjadi Kakak setelah proses pengadopsian Lara selesai. Tidak ada salahnya mendidik si bungsu dengan sedikit keras, kan?
"Punya mata dipake," sindir Lea pada Chio yang telah kembali. Tangan si mungil mulai gemetar. Lap di genggamannya Chio remas erat.
"Maafin Cio."
"Loh, kenapa?" Haga baru saja datang. Pemuda itu baru selesai menuntaskan rasa mulasnya di kamar mandi.
"Adikmu, numpahin air. Udah tau lagi nyalain kran, eh malah melongo. Lagipula dia tuh udah gede! Jangan dibolehin ngedot terus!" cerocos Lea kesal. Haga yang tidak mengerti apa-apa seketika diam kala matanya menangkap sosok Chio. Hatinya sakit melihat sang Adik yang tengah mengelap tumpahan air di lantai itu dengan bahu yang naik turun menahan isak tangis.
"Kenapa Mami gak bantu?!" Haga tidak sadar membentak Azura. Hal yang membuat wanita yang tengah menggendong cucu perempuan satu-satunya keluarga Rasendriya itu mengerutkan keningnya tak suka. Azura menatap sengit pada Chio. Seharusnya anak itu tidak memulai semuanya!
"Dia harus belajar bertanggung jawab, Kak! Gak boleh dimanjain terus!"
Haga tidak menggubris. Ia memilih membantu Chio membereskan tumpahan air itu. Sekaligus juga menutup botol dot Chio dengan nipple silikonnya. Haga gendong si bungsu setelahnya ke taman luar. Lebih baik mereka menenangkan diri di gazebo depan ketimbang terus berada di sini.
"Gak usah dipikirin, Ra," ujar Lea lembut. Azura mengangguk. Ia membenarkan letak gendongan Lara, lantas kembali untuk duduk di sofa dan bermain bersama Lara lagi. Tanpa mau memikirkan lebih lanjut tentang kejadian tadi.
Bahkan tanpa mengingat omongan sang Mertua yang tak sengaja didengar oleh bungsunya.
**
"Kakak?" Chio mendongak, manik matanya menatap Haga dengan lugu. Kini, ia tengah duduk di pangkuan si sulung. Mereka berdiam diri di gazebo taman. Menikmati semilir angin Sore yang terasa begitu sejuk.
"Hm? Adek kenapa? Udah gak nangis?" Haga mengusap pipi Chio yang sedikit basah akibat air mata.
"Udah. Cio ndak nangis, Kakak. Cio cuma takut aja sama Oma," elak si mungil tidak terima. Haga mengangguk saja. Tawa putra sulung Rasendriya itu tidak terelakkan, kala Chio selanjutnya justru memasukkan nipple dotnya ke dalam mulut, kemudian menyedotnya secara brutal.
"Haus, ya, habis menghadapi drama?" Haga dengan iseng mencubit-cubit kecil pipi bocah yang ada di pangkuannya itu. Hal yang malah membuat Chio semakin menyamankan diri.
**
"Adek! hei, sini!" Saka menggaet dengan terburu tangan mungil Chio. Keduanya berjalan menuju mobil Tante Renja yang sudah terparkir apik di pekarangan mansion.
"Adek ke mana tadi?" tanya Saka dengan napas terengah. Ia panik setengah mati tadi, saat mencari Chio yang batang hidungnya tak nampak sama sekali sejak senja tiba. Kedatangan adik ke-2 dari ayahnya, serta suami dan para putra dari Tante Renja, membuat suasana mansion bertambah ramai.
"Cio caliin Mami dan Papi." Jawaban dengan nada polos itu membuat Saka berdecak malas.
Mereka sekeluarga memang berencana berkunjung ke rumah Lea, dan menginap di sana sampai besok. Tidak dalam rangka apa-apa. Lea hanya meminta itu karena dirinya merindukan Rey—mendiang putra bungsu dan istrinya yang telah berpulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chio ; The Unwanted Youngest
Подростковая литератураChio tidak diinginkan. Oleh siapa? Semuanya. ** [Rasendriya Ochio Narain] • The Unwated Youngest •