PROLOG

4 2 0
                                    

"Mau sampai kapan kamu bakalan nunda pekerjaan?"


Jaemin menatap layar laptop di hadapannya, jemarinya kaku di atas keyboard. Deadline semakin dekat, tetapi otaknya terasa buntu. Kopi yang ia minum sejak pagi mulai kehilangan pengaruhnya, membuat matanya berat.

Apartemennya sepi, namun suara seseorang perempuan yang berada di seberang telepon tetap terdengar, memecah keheningan.

Ia melirik ke arah ponselnya yang diletakan di atas meja. "Sabar dong, aku lagi nyoba fokus tapi susah." ia menekan dahi dengan satu tangan.

"Kalau kamu begini terus, bisa-bisa nggak selesai." suara perempuan itu terdengar lembut, meski sedikit mengomel. "Paling nggak coba rehat sebentar, coba kamu buka catatan atau outline yang kamu bikin."

Jaemin tersenyum kecil, meski tahu sahabatnya itu tidak dapat melihat. "Kamu tahu kan aku gak bisa bikin outline malah tambah berantakan ceritaku."

"Terus kalau udah begini kamu harus apa? buntu kan?"

"Iya-iya, maaf. Aku lagi mikirin adegan selanjutnya apa."

Saat Jaemin bersiap mengetik lagi, terdengar suara bel apartemennya berbunyi. Ia melirik jam yang berada di dinding—sudah lewat pukul satu dini hari. Siapa yang datang selarut ini?

"Sebentar, ada tamu." kata Jaemin, membuat perempuan yang berada di seberang mengernyit heran.

"Siapa yang bertamu malam-malam begini?" tanyanya.

"Nggak tau." Jaemin melirik ke arah pintu. "Bentar ya, aku matiin telponnya, mending kamu tidur aja gih."

"Iya, bye Jaemin."

"Bye Soomin."

Jaemin beranjak dari sofa, mendekati pintu, ia mengintip lewat lubang yang berada di pintu.

Terlihat seorang pemuda berseragam yang tengah menunduk, penampilannya agak kacau. Jaemin mendengar samar kalau pemuda itu sedang meracau tidak jelas.

Jaemin merasa bingung, ia kelihatan ragu untuk membuka pintu. "Siapa pemuda asing ini?" batinnya.

Di saat ia perang batin, bunyi bel terdengar lagi. Kali ini sebanyak empat kali, cepat dan tidak sabaran.

Tanpa menunggu apapun lagi, Jaemin membuka pintu setengah membuat pemuda itu mendongak—wajah yang memerah dan juga mata sayu terlihat sekali jika pemuda itu tengah mabuk.

Apalagi bau alkohol menyeruak menusuk hidung Jaemin.

"Kenapa lama banget sih, bukain pintu?" tanya pemuda itu dengan suara serak.

Kerutan alus tercetak di kedua alis Jaemin. "Kamu siapa?"

Pemuda itu menunjuk dirinya, ia pun berkata. "Aku? aku Jeno, masa kamu lupa sih Chan?"

"Chan? siapa Chan? lagian kamu salah alamat."

Pemuda bernama Jeno itu menyipitkan mata, seolah mencoba mencerna kata-kata Jaemin.

"Masa sih? bukannya ini unit 304?" gumamnya sambil melangkah masuk dengan sempoyongan, ia hampir jatuh. Jaemin refleks mundur, menangkap tubuh Jeno.

Jaemin menggeleng, ia tahu siapa Chan yang di maksud. "Kamu temen Haechan unit 304? biar aku bantu kamu kesana."

Jeno menggerakan kepalanya, berusaha mengusir rasa pusing, ia mengangguk pelan. Setelah itu ia tak sadarkan diri, kepalanya bertumpu pada pundak Jaemin.

"Hei? bangun!" Jaemin menghela napas, ia mencoba membangunkan Jeno dengan mengguncang sedikit tubuhnya. Namun tidak ada reaksi sama sekali, dengkuran halus pun terdengar.

"Kenapa anak sekolahan suka banget minum-minum?" monolognya pada diri sendiri.

Tak ada pilihan lain. Jaemin pun memampah tubuh Jeno untuk mengajaknya ke unit 304, dimana tempat seorang yang bernama Haechan tinggal.

Hidup Jaemin akhir-akhir ini terasa sulit, dan sekarang ini ia kedatangan bencana baru yang membuat hidupnya semakin sulit.


tbc—

ARRIVALWhere stories live. Discover now