Bagian Tiga : Skenario Pulau Jawa

37 6 0
                                    

Jakarta Selatan, DKI Jakarta.

Keringat bercucuran dari tubuh si gadis seiring jari-jari nya bergerak, menuliskan kata demi kata hingga menjadi sebuah kalimat, kemudian ia beri titik diakhir kalimat. Selesai menulis, jari ramping nan indah nya melipat kertas yang diatasnya berisi deretan kata yang ditulis menggunakan tinta.

Menyelipkan secarik kertas itu di bawah buku. Ia biarkan sebagian kertasnya sedikit menonjol, supaya sosok yang ia harapkan membaca surat nya dapat melihat kertas yang terletak di atas meja rias milik nya.

Kalea Sajiwa. Atau mungkin, Lea. Anak satu satunya yang dimiliki oleh keluarga Sajiwa. Kedua orang tuanya adalah para sosok gila kerja, yang mana menurut mereka, tak ada yang lebih penting selain bekerja. Sedari kecil, Lea terbiasa beraktivitas dengan ditemani oleh asisten rumah tangga yang sudah mengabdi pada mereka kurang lebih, sedari Kalea berumur delapan tahun.

Hubungan antara Kalea dengan orangtuanya jauh dari kata dekat. Bahkan, tak pantas untuk disebut keluarga. Hal yang tak lumrah bagi orang-orang melihat anak dan orangtua nya tak dekat.

Kalea hanya dapat melihat kehadiran ayah dan ibunda nya jika sudah jam sembilan ke atas. Bahkan, mereka berdua menginjakkan kaki di rumah itu melewati waktu makan malam.

Pagi tadi, Kalea memutuskan untuk tak pergi ke sekolah karena suhu tubuhnya meningkat begitu saja. Mungkin faktor kelelahan, pikirnya. Pada pukul siang, ia mendapatkan telefon dari wali kelasnya. Beliau berkata, bahwa si gadis yang memang seorang atlet renang, mendapatkan panggilan khusus untuk seleksi di Olimpiade Internasional yang akan diselenggarakan tahun depan.

Menjadi perwakilan untuk Indonesia, yang mana jika ia memboyong medali emas bukan hanya Indonesia saja yang namanya akan harum, namun akan semakin banyak orang-orang yang mengetahui dirinya.

Dengan ransel dan dua buah koper di tangannya, ia berjalan keluar kamar. Tepat ketika ia menutup papan kayu itu, seseorang menghampiri nya. "Bibi?" Ia tersenyum ketika mendapati wajah seorang wanita yang tak lagi muda.

"𝘊𝘢𝘩 ayu, sehat sehat ya, 𝘯𝘥𝘶𝘬, disana... Kabari bibi kalo butuh sesuatu, bibi pasti dateng," titah asisten rumah tangga yang sudah ia anggap seperti keluarga nya sendiri. Kalea mengangguk, gadis yang lahir di Jakarta Selatan itu memeluk singkat. Tanda bahwa perpisahan yang akan kedua nya hadapi, bukanlah perpisahan selamanya. Hanya sementara, dan tak akan lama.

"Do'ain aku lolos ya, bi? Syukur sekarang aku bisa dipilih sebagai perwakilan dari Jakarta," seru si gadis dengan nada sendu. Ia akan merindukan Jakarta dalam beberapa bulan ini, pasti.

Si bibi mengangguk, yang mana dianggap oleh Kalea, itu adalah persetujuan dari bibi. Lea tersenyum sembari menghembuskan nafas nya pelan. Kembali memberikan rengkuhan yang lebih lama sembari berbisik, "aku titip mumma sama ayah, ya? Mereka ngga tau soal ini."

Setelahnya, kaki jenjang yang dibalut celana sebetis itu dibawa untuk melangkah keluar rumah yang selama enam belas tahun ini, selalu membuat nya sesak. Rasa tak bebas, juga rasa lelah.

Ia bersyukur, karena Tuhan sebegitu pengertiannya membuat dirinya bebas dari rumah yang terasa seperti neraka.

Sebuah mobil sedan terparkir di luar gerbang rumahnya. Seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah sang wali kelas yang begitu rendah hati. "𝘔𝘪𝘴𝘴 anter sampai Stasiun ya?" Kalea mengangguk.

Koper yang ia bawa diletakkan di bagasi mobil sedan berwarna marun itu, dibantu dengan pembersih kebun yang ditugaskan oleh sang mumma untuk membersihkan halaman setiap pagi dan sore.

"Terimakasih ya 𝘮𝘢𝘯𝘨 Damar, do'ain aku bisa lolos," ucap si gadis kelahiran Januari. Senyuman serta anggukan yang merupakan balasan dari sosok bernama Damar itu, menjadi akhir dari ucapan sampai jumpa keduanya.

[1] Archery | ft. Bluesy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang