Axton kini terlihat tak baik-baik saja, kamarnya bak kapal pecah. Aldrich sialan batinnya, lihatlah apa yang akan terjadi jika adiknya esok tak kembali. Kaca walk in closet kini sudah tak berbentuk lagi. Pikiran buruk yang menghasutnya untuk mengakhiri hidup sempat menghampiri. Namun tidak akan. Ia tak akan dengan mudah mati selama di sisinya masih ada adik kesayangannnya.
"Kumohon, jangan lagi."
Matanya meliar kesana kemari. Dengan keringat yang yang membanjiri dahi. Axton sangat takut adiknya tak kembali.
"Tidak, tidak tidak."
"Papa sudah berjanji akan membawa Casey kembali."
Sial, kepanikannya sudah di puncak kepala. Axton tak tahan lagi, ia harus mencari adiknya sendiri.
Ia keluar dari kamar. menuju tangga, lalu berlari menuruninnya. Alas kaki sampai lupa ia pakai. Menyisakan kaki putih yang kini telanjang namun tak Axton pedulikan.Dipikirannya hanya ada adiknya seorang. Ia tak tenang, apalagi membayangkan saat malam. apakah dari kemarin adiknya makan sampai kenyang?
atau tidur dengan nyaman?Membayangkan adiknya tak tau jalan pulang semakin membuat hatinya tak tenang. Hingga secara tak sengaja, netranya menangkap atensi seseorang yang berjalan menundukkan pandangan dengan tangan yang bertautan.
"Ya Tuhan."
"CASEY!".
Suara tak asing menyapa indera pendengarannya. Louise mendongakkan kepala tanpa kata. Memperhatikan Axton yang berlari ke arahnya, lalu tersentak ketika lagi-lagi dekapan erat seolah melilitnya.
" You're driving me crazy."
"Don't leave me again."
"I'm scared."
Tadi, setelah Louise mengatakan alamat lengkap rumahnya. Dizon dibuat menganga tak percaya. Takut sekali dituduh menculik Louise dari mereka, maka ia menawarkan untuk mengantar Louise pulang, tapi tak sampai rumahnya.
Louise boleh-boleh saja. Bahkan ia harap Dizon bisa singgah sebentar di mansion keluarga barunya. Jika mereka bermacam macam pada Dizon, maka akan Louise pukul mereka.
"Casey, kau dengar kakak?"
"Jangan tinggalkan kakak lagi." Elusan di punggung tangan mengalihkan pikirannya. Louise mengerjap sebentar lalu helaan nafas ia keluarkan samar.
"Ya, aku dengar."
"Lebih baik sekarang kita pulang."
"Sure."
⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️
Aldrich melamun di ruang tamu. Bahkan ia tak menyadari Axton pergi berlari keluar. Louise seolah akan membuatnya gila. Penyesalan datang karena kelalaiannya. Hingga kemudian, kedatangan bocah dengan tas abu-abu membuatnya terpaku.
Dengan cepat Aldrich berdiri. memeluk tubuh yang jauh lebih kecil. Kepanikannya kini terobati. Bocah yang membuatnya uring uringan sudah kembali.
"M-maafkan papa."
"Papa bersumpah, papa sungguh lupa menjemputmu di sekolah.
"Kau mau apa hm?, akan papa berikan"
"Asal kau mau memaafkan papa"
Louise kecewa. maka dari itu sekarang ia ingin mendiamkan pria tua di depannya. Rasakan saja. Louise tak akan dengan mudah memaafkannya.
"Aku ingin istirahat, permisi."
Dilepaskannya pelukan Aldrich yang melingkari tubuhnya. sementara Pria yang paling tua itu menatap nanar kedua tangan yang seolah ditolak putranya. Hingga akhirnya, meja di depannya menjadi sasaran empuk kemarahannya. Merutuki kebodohan yang diperbuatnya
"BODOH!"
Meja kaca itu hancur dibuatnya. Hantaman tak main-main Aldrich berikan. Darah di punggung tangan tak ia pedulikan. Lebih baik Aldrich pergi, menuju ruangan khusus miliknya. Mungkin untuk merutuki kembali kebodohannya.
Namun sebelum beranjak, Aaron dan Ayhner terlihat masuk terburu-buru. Mendengar adiknya sudah kembali, mereka berdua yang memang sedang mencari dengan sigap langsung kembali. Bahkan kini Ayhner terpaku dengan mulut terbuka.
"Wow, impressive."
"Teruskan saja, aku tak akan mengganggu."
Ayhner berlari secepat kilat, tatapan papanya seolah ingin menelannya bulat bulat. Ia sedikit takut, takut dijadikan sasaran empuk kemarahan papanya. Ingat! hanya sedikit.

KAMU SEDANG MEMBACA
BARREY (Hiatus)
Narrativa generaleTentang Louise Faine Barrey, anak laki-laki 12 tahun yang terjebak dalam sebuah keluarga hingga tak bisa menemukan jalan keluarnya. Mereka selalu memastikan Louise ada dalam jangkauannya, ditambah lagi dengan putra ketiga yang mengalami gangguan jiw...