Musim hujan perlahan beranjak pergi, namun hembusan angin dinginnya masih terasa menusuk hingga ke tulang. Di dalam sebuah ruangan beraroma teh herbal, lentera-lentera berpendar lembut, menciptakan bayangan yang menari di dinding kayu.
“Nona Yin Yue, musim hujan hampir berlalu, tetapi anginnya masih tajam. Kenakan mantel ini, aku khawatir Anda akan jatuh sakit.”
Hua Ying, pelayan pribadi Chen Yin Yue, membungkuk dengan hormat sebelum menyampirkan mantel tebal di bahu tuannya. Gadis muda itu, dengan wajah sehalus porselen dan ekspresi yang selalu tampak tenang, hanya mengangguk kecil. Hanfu berwarna pastel yang dikenakannya memancarkan kesan lembut, dihiasi bordiran bunga di lengan dan pinggiran rok panjangnya. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi giok berukir burung phoenix yang menggantung anggun di ikat pinggangnya.
Di hadapannya, meja kayu antik dipenuhi lembaran perkamen berisi catatan pengeluaran dan keuntungan restorannya—Lembah Angin Teratai. Beberapa koin emas dan perak berserakan di antara tinta yang baru saja mengering, mencerminkan usaha kerasnya dalam mengelola tempat itu.
Yin Yue mendesah pelan, menaruh kuasnya di samping tumpukan kertas sebelum memijit pelipisnya yang terasa berdenyut.
“Hua Ying, pengeluaran kita kali ini terlalu banyak.”
Pelayan setianya mendekat, sekilas melirik catatan yang baru saja ditinggalkan tuannya.
“Aku mendengar pelanggan kita mulai mengeluhkan bahan makanan yang kurang segar, Nona. Mungkin kita perlu mencari pasokan dari luar provinsi.”
Yin Yue mengangguk pelan. “Kau benar. Aku akan meminta Tao Lin mencarikannya di daerah Xianglin. Kudengar bahan pangan di sana lebih berkualitas.”
Ia bangkit dari duduknya, meregangkan tubuh sejenak sebelum melangkah keluar ke balkon restoran. Angin berembus lembut, membawa aroma hujan yang baru saja menyentuh tanah. Ia mengulurkan tangan, membiarkan butiran air yang tersisa di udara menyentuh ujung jarinya.
“Nona—”
Hua Ying hendak menghentikannya, tapi Yin Yue mengangkat tangan, memberi isyarat agar pelayannya tidak mengganggunya.
“Bukankah ini menyenangkan?” katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam rintik hujan yang masih turun tipis.
Hua Ying menunduk, tersenyum kecil. “Baiklah, Nona.”
Untuk sekali ini, ia mengalah. Ia tahu betul betapa Tuan Chen berulang kali menekankan agar Yin Yue tidak membiarkan dirinya basah kuyup di musim hujan. Namun, melihat senyuman itu—senyum yang begitu jarang muncul sejak kepergian ibunya—membuatnya enggan menghalangi gadis itu menikmati momen kecil ini.
Saat Yin Yue tengah menikmati dinginnya udara selepas hujan, suara derap roda kereta kuda yang berhenti tepat di depan restorannya menarik perhatiannya. Dari balkon, ia melihat para pelayan bergerak cepat, mengangkut peti-peti kayu dari dalam kereta menuju kedai di seberang jalan.
“Siapa mereka?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.
“Mereka adalah pelayan Tuan Huang Zhiyuan,” jawab Hua Ying.
Yin Yue mengerutkan kening. “Huang Zhiyuan?”
“Pemilik baru kedai arak itu.” Hua Ying mengangguk ke arah kedai yang baru saja direnovasi. “Kudengar, dia adalah pengusaha dari Hanjiang. Araknya terkenal di seluruh negeri.”
Mata Yin Yue memperhatikan pergerakan di bawah sana, hingga pandangannya tertumbuk pada seorang pria muda dengan Baimao hitam bordiran burung merak di tepi jubahnya. Posturnya tegap, gerak-geriknya menunjukkan kewibawaan yang alami. Ia tampak berbicara dengan pelayannya, raut wajahnya serius, nyaris dingin.
Saat percakapan mereka berakhir, tiba-tiba pria itu mendongak. Pandangan mereka bertemu.
Yin Yue merasakan waktu seolah melambat. Sejenak, hanya ada mereka berdua dalam pusaran waktu yang membeku. Matanya ingin beralih ke arah lain, tapi tatapan pria itu mengunci perhatiannya. Tajam. Dingin. Seolah ingin menyelami pikirannya.
“Nona, kita harus segera kembali ke kediaman. Tuan Pertama akan pulang dari perbatasan.”
Suara Hua Ying mengembalikan kesadarannya. Yin Yue berkedip, lalu menarik napas panjang sebelum berbalik. “Kau benar. Mari kita pulang.”
Di seberang jalan, Huang Zhiyuan masih berdiri di tempatnya. Matanya mengikuti kepergian gadis itu hingga sosoknya lenyap dari pandangan.
“Zha’an, siapa dia?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari balkon yang kini kosong.
“Dia adalah Chen Yin Yue, pemilik Lembah Angin Teratai.”
Zhiyuan mengangkat alis. “Lembah Angin Teratai?”
“Restoran nomor satu di kota ini, Tuan. Lawan bisnis kita.”
Zhiyuan tersenyum samar. “Menarik. Aku tak menyangka kota ini memiliki perempuan yang begitu bebas menjalankan usahanya.”
“Apa Tuan ingin mengundangnya ke perjamuan?”
Zhiyuan menuangkan teh ke cangkirnya, menikmati aroma wangi yang menyeruak sebelum menjawab, “Kupikir, menjalin kerja sama dengannya bukan ide yang buruk. Bukankah semakin luas jaringan bisnis kita, semakin besar keuntungan yang bisa kita dapat?”
Zha’an ragu-ragu. “Tapi, Nona Chen terkenal sulit didekati, Tuan.”
Zhiyuan tertawa kecil. “Bukankah semua perempuan begitu? Bahkan adik perempuanku membuat aku harus berbisnis hanya agar bisa menghindari ocehannya sepanjang hari.”
Ia menggeleng, membayangkan Zhao Hwa yang selalu bersikeras menyuruhnya mencicipi masakan-masakan eksperimen yang sering kali berakhir dengan bencana.
Namun sebelum Zha’an sempat merespon, seorang pelayan lain datang dengan wajah penuh peluh.
“Lapor, Tuan! Pengawal bayangan kita telah menangkap penyusup yang mencoba mencuri catatan dari Paviliun. Kami mencurigai mereka mencari dokumen yang Tuan Xiao berikan.”
Zhiyuan mengernyit, jemarinya mengetuk meja kayu di hadapannya. Tatapannya berubah dingin.
“Bawa mereka ke penjara. Aku akan menemui mereka malam ini.”
“Baik, Tuan!”
.
.
.# To Be Continued

KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan di Balik Matahari
RomansaIni adalah kisah cinta, pengkhianatan, dan ketulusan yang diuji di tengah politik istana yang penuh lika-liku.