1- Masih Masa Kecil

89 7 0
                                    

Note: Jadilah pembaca yang bijak, ini hanyalah kisah fiktif. Ambil sebagai pelajaran, tidak untuk ditiru.

Happy Reading ^^

🎀🌷🎀🌷🎀🌷🎀🌷🎀🌷🎀🌷🎀🌷🎀🌷🎀🌷🎀🌷

"Abang Khayl!" Jeenan tersenyum lebar ketika matanya menangkap sosok Khayr yang berjalan bersama Adnan. Gadis kecil itu berusaha melepaskan genggaman tangan sang Kakak yang waspada dalam mengawasinya. "Lepas Koko, Jeenan mau ketemu Abang Khayl!" pinta Jeenan.

"Gak, Jeenan harus langsung masuk kelas kata Bunda." Meskipun tidak terima dengan pernyataan tegas sang Kakak. Jeenan memilih menurut pada Arshaka yang menuntunnya menuju kelas Kindergarten satu.

Sebagai anak sulung yang mendapat amanah untuk memastikan keadaan sang adik, Arshaka benar-benar menjalankan perannya dengan sangat baik. "Kenapa halus langsung masuk kelas?"

"Jeenan jangan tanya-tanya terus, tuh main sama teman perempuan," kata Arshaka.

Jeenan berdecak. Tidak mau! Dia tidak mau main dengan anak-anak perempuan yang cerewet dan berisik itu. Jeenan mau diam saja. "Koko pergi saja! Jeenan mau baca," alibinya.

Arshaka melihat jam di tangannya. Dia pun bergegas meninggalkan Jeenan. Sebelumnya, anak laki berusia tujuh tahun itu menyempatkan diri untuk memastikan isi tas sang adik. Khawatir isinya mobilan semua seperti Jumat kemarin. "Belajar yang baik, Jeenan."

"Iya."

Ketika Arshaka sudah pergi, Jeenan cekikikan. Dia sudah menyusun strategi agar bisa bertemu Abang Khayr. Karena kelas anak laki-laki dan perempuan di pisah. Jeenan harus mendatangi Khayr yang letak kelasnya di lantai dua. Sembari berjalan mengendap-ngendap, mata bulat gadis kecil itu mewaspadai keadaan di sekitarnya. Langkah-langkah kecil itu berimbas pada dirinya yang akhirnya merasa cukup lelah karena harus menaiki anak tangga demi anak tangga.

"Jeenan mau punya sayap sepelti lebah, bial tidak usah jalan. Huh!" Gadis kecil itu sampai di tangga terakhir. Dengan agak tergesa dia menuju kelasnya Arshaka. Senyuman lebar langsung terpatri di wajah lucunya ketika mendapati Khayr tengah duduk tenang.

"Abang Khayl!" panggil Jeenan ceria. Tanpa pikir panjang, Jeenan masuk ke dalam kelas. Mengabaikan anak laki-laki yang melihat ke arahnya.

"Jeenan?" Jeenan menarik kursi agar duduk berhadapan dengan Khayr.

"Abang, kenapa tidak mau main lagi sama aku?" tanya Jeenan sedih. Akhir-akhir ini, kalaupun Jeenan pergi ke rumahnya Khayr. Khayr selalu menghindarinya. Jeenan hanya main dengan Ibunya Khayr saja jadinya.

"Jeenan, tidak baik di sini. Kembali ke kelas," kata Khayr sedikit mengusir.

"Tapi, aku na mau main!"

"Aku nggak mau main."

"Kenapa?"

"Abang Shaka bilang, laki-laki tidak main sama perempuan." Penolakan secara halus itu membuat Jeenan mengerucutkan bibirnya. Tanpa bicara apapun dia bangkit untuk kembali ke kelasnya. Tak lupa wajahnya cemberut yang kini menghiasi wajahnya.

Dan karena hal tersebut, Jeenan enggan ikut berbaris bersama teman-temannya. Dia tidak mau mengerjakan apapun selain setor hafalan pada guru yang mengajarnya. Tentu saja keengganan Jeenan untuk banyak hal ini dilaporkan pada Jihan selaku ibu dari si gadis kecil.

"Iya, Umm, Jeenan hari ini cuma mau setor hafalan saja," ujar sang guru pada Jihan yang menjemput putrinya sekolah. Sehabis dari sekolahannya Jeenan, mereka akan langsung bersiap menuju sekolahnya Arshaka.

"Oh iya, Bu. Gak apa-apa. Terimakasih, ya." Jiha meraih tangan Jeenan dengan lembut. Menatap putrinya yang kini tertunduk sedih.

"Jeenan mau ketemu, Papa nggak?" Rencananya, setelah menjemput anak-anak, Jihan mau mengantarkan makan siang untuk suaminya.

Dirgantara's Siblings [SQUEL KISAH DARI JIHAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang