Bagian 1

73 45 7
                                    

Halo semuanya, aku masih author pemula. Mohon dukungannya ya..
Kalau masih ada salah kata boleh banget kalian kasih kritik dan saran, bisa tulis di komentar atau DM aku yaa..

Jangan lupa pencet tombol ⭐

Happy reading...
-

"Ya Allah, siapakah dia?
Kenapa pandanganku selalu tertuju padanya?"

~Athaar Jahiz El-Haaziq~
-

“Bundaaa, pliis…. Amna nggak mau, bundaaa!” Amna berlari menuruni tangga mengejar bundanya.
“Nggak ada penolakan! Ini sudah jadi keputusan ayah sama bunda, ya kan ayah?”
“Iya, Amna duduk sini dulu nak sama ayah bunda.”
Amna pun menghampiri ayah dan bundanya dan duduk di antara keduanya.

“Amna sayang, dengarkan ayah dulu. Ayah sama bunda ngirim kamu ke pondok pesantren bukan karena kita nggak sayang sama kamu, tapi ayah sama bunda mau kamu belajar agama lebih dalam lagi biar kamu menjadi wanita yang shalihah. Toh ya di pondok nanti kamu nggak akan kesepian, disana juga banyak temennya. Ayah sama bunda juga nanti bakal sering kunjungi kamu kok. Amna mau ya, nak?”
“Tapi Yah, Amna nggak mau. Bukan nggak mau ya lebih tepatnya Amna nggak suka tinggal di pondok pesantren. Udahlah nggak boleh bawa handphone, banyak hafalan, apa-apa harus antri, tidur sama banyak orang, makannya cuma gitu-gitu aja, dan yang lebih nggak suka lagi Amna nanti harus pakai pakaian longgar. Iiiih nggak mauu, Amna nggak suka, Amna keliatan kayak ibu-ibu nanti.” Celoteh Amna tanpa hentinya.

“Siapa bilang pakai pakaian longgar itu kayak ibu-ibu, bilang sini sama bunda biar bunda kasih paham orangnya,” jawab bundanya dengan gaya yang lucu. Rasyid pun tertawa kecil mendengar ucapan sang istri.
“Iiihhh ayah sama bunda kok malah bercanda sihh, Amna serius tau! Pokoknya Amna nggak mau mondok, titik!”
“Loh siapa yang bercanda, ayah sama bunda serius ini. Loh anak ayah kok gitu, udah tenang aja sayang, pilihan ayah sama bunda itu yang terbaik buat masa depan kamu. Ayah sama bunda nggak mau kamu nantinya salah jalan. Percaya deh sama ayah, tinggal di pondok pesantren nggak seperti yang kamu bayangkan.”
“Hmm tapi.., yaudah deh iya Amna mau, tapiii ayah sama bunda janji ya bakal sering-sering kunjungi Amna.”

“Alhamdulillah, ayah bangga sama kamu nak. Iya sayang, ayah sama bunda janji nanti bakal sering kunjungi kamu.”
“Udah malem, sekarang tuan putri bunda tidur ya… istirahat. Besok kita akan datang ke pondok pesantren yang sudah dipilih sama ayah bunda. Kalau kamu udah mantep, nanti baru ayah kamu urus berkas pendaftarannya.”
“Yaudah, Amna tidur duluan ya ayah bunda. Selamat malam!”
“Selamat malam juga, cantik!” Jawab Rasyid dan Hanifah bersamaan.

Amna pun melangkah pergi menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Begitu pula dengan Rasyid dan Hanifah, mereka pun pergi ke kamar mereka untuk beristirahat.
-
Keesokan harinya, Amna sedang bersiap untuk pergi ke pondok pesantren. Ia mengenakan sweater maroon dengan rok jeans dan pashmina yang diikatkan ke belakang. Ia duduk di sofa ruang tengah sambil menunggu ayah bundanya bersiap. Tak lama kemudian, bundanya keluar kamar dan ia dikejutkan dengan penampilan anak gadisnya itu.
“Ya Allah Hilya Amna Chafia! Kok bisa-bisanya kamu ini pakai sweater, rok jeans, sama apalagi itu hijabnya pake diiket ke belakang segala. Kamu ini mau ke pondok pesantren ya bukan main ke cafe sama temen-temen. Ganti bajunya sekarang!”
“Loh kok ganti baju sih Bun, ini kan udah menutup aurat bunda. Emang salah ya pakai baju kayak gini?”
“Salah sih enggak, tapi kurang sopan sayang. Nurut sama bunda, ganti bajunya ya.” Sahut Rasyid yang baru keluar dari kamar.

Amna pun menuruti perkataan orang tuanya. Ia kembali ke kamarnya untuk berganti baju. Ia mengenakan setelan tunik yang memang sudah disiapkan bunda sebelumnya. Setelah selesai bersiap, ia turun ke bawah dan menghampiri ayah bundanya.
“Ayah, bunda, Amna udah siap.”
Rasyid dan Hanifah menoleh bersamaan ke arah putri cantiknya.
“MasyaAllah cantiknya anak ayah bunda inii.” Ucap Rasyid dan Hanifah bersamaan.
“Nah, kalau begini kan cantik anak ayah.”
“Cantik dari mana? Amna udah kaya seumuran aja sama bunda.”
“Eh eh eh, kamu ngeledek bunda?”
“Enggak kok, tapi kalo ngerasa ya maaf deh.” Celetuk Amna dengan wajah tengilnya.
“Sudah-sudah, jadi gimana? Udah bisa berangkat sekarang, bunda? Amna?”
Hanifah dan Amna mengangguk bersamaan.
“Oke, kita berangkat sekarang biar nggak terlalu siang juga. Ayo nak kita berangkat,” kata Rasyid sembari merangkul Amna keluar rumah. Dan mereka pun pergi menuju pondok pesantren.
-
Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, Mereka pun sampai di pondok pesantren. Mobil warna putih milik Rasyid kini terparkir di halaman pondok pesantren.
Pondok Pesantren Darul Muttaqien, sebuah pondok pesantren yang terletak di sebuah desa kecil yang tenang. Bangunan utama terbuat dari kayu jati tua dengan ukiran-ukiran khas Jawa. Suasana yang asri dan nyaman dengan banyaknya pepohonan yang rindang. Rasyid, Hanifah, serta Amna melangkahkan kakinya memasuki kawasan pesantren. Mereka diarahkan pengurus pondok menuju ndalem Abah Kyai Abdul Muhaimin dan Nyai Ummi Lailatul Inayah.

Mereka bertiga pun duduk bersimpuh di depan pintu ndalem. Rasyid mengetuk pintu ndalem perlahan seraya mengucapkan salam. Tak lama kemudian pintu pun terbuka dan menampilkan Abah Kyai Muhaimin. Rasyid pun langsung menyalami tangan Abah Kyai begitu pula dengan Hanifah dan Amna yang menyatukan kedua tangan di depan dada sebagai bentuk salam kepada yang bukan mahram. Rasyid, Hanifah, dan Amna pun dipersilahkan untuk masuk.

“Wa’alaikum salam, sinten Niki? wonten perlu nopo?”
“Kulo Ahmad Rasyid Abah Kyai, ini istri Kulo Siti Hanifah, dan ini putri Kulo Hilya Amna Chafia. Kulo dateng mriki badhe nitip aken putri Kulo Amna mondok Ten mriki Abah Kyai.”
“Alhamdulillah, monggo-monggo. Dengan senang hati saya dan keluarga besar Darul Muttaqien akan menerima putri bapak untuk mondok disini. Tapi saya kok merasa mboten asing nggih kalih njenengan, pak Rasyid. Njenengan niki adik dari Ustadz Harun Yahya mboten?”
“Nggih Abah Kyai, kulo adik dari Ustadz Harun Yahya. Kulo semerap pondok pesantren mriki nggih dugi mas Kulo.”
“Masya Allah, pantas dari tadi saya lihat kok ada miripnya sama ustadz Harun, ternyata memang benar adiknya.”
Dan perbincangan tersebut berlangsung lama, mulai dari membahas tentang Rasyid dan keluarga hingga penjelasan kehidupan pesantren nantinya.

Setelah pembicaraan selesai, Amna dipersilahkan untuk melihat-lihat pondok pesantren dengan didampingi oleh mbak Nur yang merupakan salah satu dari abdi ndalem. Disaat mereka sedang berkeliling untuk melihat lingkungan sekitar pesantren tanpa disadari ada seseorang dari dalam masjid yang pandangannya terus terfokus pada Amna dengan senyuman tipis.

.

Jangan lupa vote, komen, dan follow✅
Supaya Author makin semangat lagi
.
Jangan lupa pencet tombol ⭐

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Berbisik Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang