Di pagi hari yang cerah, Aku memutuskan untuk menyiram bunga di halaman rumah sederhana milik keluargAku. Rumah yang sudah lama Aku titidakl untuk pergi merantau. Beberapa tahun yang lalu, Aku mulai merantau demi mencari ilmu yang lebih tinggi di salah satu universitas ternama di Jakarta. Satu minggu yang lalu, Aku memutuskan kembali ke kampung halamanku setelah Aku dinyatakan lulus dengan hasil yang memuaskan dan sudah mendapatkan ijazah. Aku pulang membawa gelar yang selama ini Aku idam-idamkan, yaitu Sarjana Ekonomi. Aku pulang dengan tekat Aku akan mengembangkan bisnis toko kelontong yang selama ini dijalani oleh keluargaku.
Saat Aku sedang asik menyiram bunga sembari memikirkan hal-hal yang ingin ku lakukan, Aku melihat dua anak kecil yang sedang berjalan bersama ingin berangkat ke sekolah. Aura yang terpancar dari kedua anak tersebut memperlihatkan bahwa mereka berdua sedang dalam suasana hati yang bahagia. Tiba-tiba Aku teringat dengan seseorang yang menjadi pujaan hatiku. Seseorang tersebut merupakan teman kuliahku saat di Jakarta. Dia adalah laki-laki yang baik dan selalu ada disaat Aku membutuhkan bantuan, Aku sangat menyukainya. Brian Rashad Atmaja namanya, dan Aku sering memanggilnya Brian. Karena sifatnya yang baik itulah yang membuatku menyukai dirinya. Bahkan mungkin rasa yang Aku miliki untuknya lebih dari sekedar rasa suka.
Rasanya sangat bahagia jika mengingat tentang dirinya. Akan tetapi ketika lulus dan memutuskan pulang ke kampung halaman, Aku merasa sedih. Hal tersebut bukan tanpa alasan, Dia yang merupakan asli orang Jakarta dan Aku yang berasal dari Yogyakarta membuat kita tidak bisa saling bertemu lagi. Selama satu minggu ini, Aku dan juga Brian hanya berkomunikasi melalui handphone, entah itu hanya berkirim pesan ataupun video call. Brian sebenarnya memiliki rumah yang berada di Yogyakarta, akan tetapi Brian harus membantu Ayahnya mengurus bisnis di Jakarta, sehitidak Brian belum bisa berkunjung ke rumahnya yang berada di Yogyakarta.
Tanpa sadar Aku menyirami bunga sembari melamun. Sampai akhirnya Ibu yang memanggilku sedikit keras menyadarkanku. Ibu memanggilku untuk memberitahu jika sedari tadi hanphone-ku terus berbunyi. Akan tetapi karena Aku yang sepertinya terlalu asik melamun tidak mendengar bahwa handphone-ku berbunyi. Bahkan Ibuku butuh beberapa kali memanggilku sampai Aku bisa mendengar panggilannya.
"Ndhuk, yen lagi nyambut gawe kuwi aja sambi ngalamun. Deloken banyumu kuwi uwis entek ngasien tok tinggal ngalamun kawit mau. Mikirke apa ta ndhuk?"
("Nak, jika sedang melakukan pekerjaan jangan sambil melamun. Lihatlah airmu itu sampai sudah habis karena kamu melamun sedari tadi. Sedang memikirkan apa Nak?")
"Eh Ibu. Boten kok Bu, Diva boten mikirke menapa-menapa."
("Eh Ibu. Tidak kok Bu, Diva tidak sedang memikirkan apa-apa."
"Tenane Nduk?"
("Serius Nak?")
"Inggih Bu, estu. Ibu nyeluk kula enten napa ta Bu?"
("Iya Bu, serius. Ibu manggil Aku ada apa Bu?")
"Wo ngasi lali, Ibu ki arep ngomongi yen kawit mau HPmu kuwi muni terus. Ketoke ana sing telpon."
("Oo sampai lupa, Ibu mau ngasih tau kamu kalau dari tadi HPmu bunyi terus. Kayanya ada yang telephone.")
"Whoalah nggih ta Bu, cobi Diva tiliki rumiyin."
("Oalah iya Bu, coba Diva lihat dulu.")
Setelah Ibu memberi tahu jika handphone-ku sedari tadi berbunyi, Aku pun bergegas masuk kamar dan mengecek handphone-ku. Ternyata benar kata Ibu, terdapat banyak panggilan masuk yang ternyata itu dari Brian. Dengan cepat Aku pun menelephone kembali nomor Brian. Aku dan Brian pun mengobrol lumayan lama. Brian menanyakan bagaimana kabarku dan kabar dari orang rumah. Aku pun menjawab jika kabarku dan juga orang rumah sehat. Kami lanjut mengobrol hingga tiba-tiba Brian mengatakan jika dirinya ingin berbicara serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shot Story By Rienath
Short StoryBerisi tentang cerita-cerita pendek dengan genre yang tidak menentu.