"Di tempat ini, anggap kita bukan siapa-siapa. Jangan banyak tingkah."
-Hilario Jarvis Zachary
Jika Bumi ini adalah planet Mars, maka seluruh kepelikan hidup Ratu Marsha adalah lontaran partikel debu yang terus beterbangan di planet keempat tata sur...
Peraturan lapak Fey🧚♀️ ● WAJIB FOLLOW AKUN AUTHOR ● WAJIB VOTE SEBELUM MEMBACA ● WAJIB TINGGALKAN JEJAK KOMEN
TARGET UP?
5k vote dan 8k komen🍒
Yuk ramaikan setiap paragraf dengan komen kalian💌
(Mohon komentar dengan bahasa yang sopan ya sayang-sayang akuu🥰)
Happy reading!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
38. SEBERKAS LUKA YANG MEMBERI JARAK
Segenap jiwa raga Hilario terus dikekang oleh perasaan kacau berkepanjangan sejak meninggalkan Asrama 665. Bagaimana tidak, mereka berpisah di parkiran asrama tanpa menyelesaikan kesalahpahaman sedikit pun. Hilario tentu amat paham kekecewaan wanitanya. Dia memang sepatutnya disalahkan atas pengakuannya tadi mengenai perkara kaus kaki yang ditemukan oleh Tara di mobilnya.
Harusnya, yang Hilario lakukan kini adalah meninggalkan mobilnya dan menuju belakang panggung yang rencananya akan menjadi lokasi diskusi mereka malam ini terkait skema lanjutan dari kegiatan UPDay Fest untuk besok dan lusa. Namun, yang Hilario lakukan justru berdiam di mobil dengan terus memijit kening yang sudah pasti pening.
Lagi dan lagi ... ia membuat Matcha kecewa. Fase ini menjadi pukulan keras untuk dirinya sendiri yang tak pernah becus menjalankan tugasnya sebagai suami dan ayah. Sungguh, Hilario sangat membenci dirinya saat ini. Hilario geram pada keadaan yang secara tak langsung membuatnya menabur garam pada perih di hati istrinya.
Ketermenungan di antara riuh-riuh di kepalanya seketika terjeda akibat dering telepon dan kedipan cahaya dari layar ponselnya yang tergeletak di samping kursi. Buru-buru Hilario meraih ponselnya―berharap panggilan itu mungkin saja berasal dari Matcha yang ingin kembali mengeluarkan unek-unek. Sayang, bukan nama istrinya yang tertera sebagai penelepon, tetapi justru nama Nala yang muncul di layar.
Kerutan samar di kening menyertai Hilario yang segera menggulir naik tombol hijau dalam panggilan telepon WhatsApp dari Nala.
"Halo―"
Ucapan Hilario dijeda oleh suara penuh getar tak berdaya dari sang penelepon.
"Tolong ... tolong aku, Lar."
Hilario tercenung dengan mata terbelalak. "Kamu kenapa, La? Kamu di mana sekarang?" tanyanya beruntun.
"Sakit .... Mereka mukul aku."
"Kamu di mana sekarang?" tanya Hilario dengan napas tercekat.
Namun, yang menjawab pertanyaan Hilario justru bunyi denting panjang dari pengeras suara ponselnya. Panggilan telepon itu terputus tiba-tiba. Hilario melenguh gusar dan buru-buru menyalakan mesin mobilnya sebelum berputar untuk kembali ke asrama, tempat yang mungkin saja ia bisa mendapatkan informasi tentang Nala.