kita, saudara. maafkan aku.

3 0 0
                                    

Sendu terduduk di lantai kamarnya, tubuhnya gemetar hebat. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang memerah. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak berujung. Kata-kata Arga terus berputar-putar di kepalanya, menusuk hatinya seperti duri tajam. "Sampah... tidak diinginkan..."  Sendu merasa terpuruk, hancur berkeping-keping. Ia merasa seperti tidak memiliki tempat di dunia ini. 

Sendu teringat masa kecilnya di panti asuhan. Ia selalu merasa berbeda, selalu merasa tidak cukup baik. Ia sering kali diabaikan oleh anak-anak lain, dicemooh, dan dijauhi. Rasa sakit itu kembali muncul, bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Sendu merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tak berujung. Ia tidak tahu bagaimana cara keluar dari rasa sakit ini. 

Dokter Dhani yang mendengar percakapan itu langsung menghampiri Arga. Wajahnya merah padam menahan amarah. "Arga, apa yang kamu katakan itu?" bentak Dokter Dhani, suaranya bergetar menahan emosi. "Sendu adalah anak yang baik. Dia tidak pantas diperlakukan seperti itu!" 

Arga terdiam, matanya menunduk. Ia merasa takut dengan kemarahan Dokter Dhani. Ia tahu bahwa ia telah salah bicara, tetapi ia tidak bisa menahan perasaannya. "Maaf, Pak," ucap Arga lirih, suaranya terdengar menyesal. "Aku tidak bermaksud seperti itu." 

"Kamu harus meminta maaf kepada Sendu," kata Dokter Dhani dengan suara tegas. "Kamu harus belajar untuk menerima Sendu sebagai bagian dari keluarga kita." 

Arga terdiam, tidak berani menatap mata Dokter Dhani. Ia merasa malu dan menyesal atas perkataannya. Dokter Dhani menatap Arga dengan sorot mata tajam, penuh kekecewaan. "Kamu harus belajar untuk menghargai orang lain, Arga," kata Dokter Dhani, suaranya terdengar berat. "Kamu harus belajar untuk mencintai, bukan membenci." 

Dokter Dhani kemudian menghampiri kamar Sendu. Ia mengetuk pintu dengan lembut, lalu membuka pintu perlahan. Sendu masih terduduk di lantai, air matanya masih mengalir deras. Dokter Dhani menghampiri Sendu dan memeluknya erat. "Sendu, sayang," bisik Dokter Dhani, suaranya lembut dan penuh kasih sayang. "Jangan sedih. Arga tidak tahu apa yang dia katakan. Dia sedang marah dan tidak tahu bagaimana cara mengendalikan emosinya." 

Sendu terisak dalam pelukan Dokter Dhani. Ia merasa sedikit lega, tetapi rasa sakit di hatinya masih terasa menusuk. Dokter Dhani melepaskan pelukannya dan menatap Sendu dengan sorot mata penuh kasih. "Kamu adalah anak yang baik, Sendu," kata Dokter Dhani, suaranya penuh keyakinan. "Kamu adalah bagian dari keluarga kita. Kami mencintaimu." 

Sendu mengangguk pelan, matanya masih berkaca-kaca. Ia berharap bahwa Dokter Dhani benar. Ia berharap bahwa ia bisa menemukan tempatnya di keluarga baru ini. Namun, ia masih merasa takut dan tidak yakin. 

Malam itu, Sendu terbaring di tempat tidurnya. Ia masih merasa sedih dan terluka. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi situasi ini. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin yang rumit, tanpa petunjuk arah. 

Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk pelan. Sendu terduduk dan melihat Arga berdiri di ambang pintu. Arga tampak gugup dan tidak nyaman. "Sendu," kata Arga, suaranya terdengar lirih. "Aku... aku minta maaf. Aku tidak bermaksud mengatakan hal-hal buruk itu. Aku hanya... aku hanya sedang marah."

Sendu terdiam, matanya menatap Arga dengan penuh keraguan. Ia tidak tahu apakah harus percaya pada permintaan maaf Arga. 

"Aku tahu aku salah," lanjut Arga, suaranya terdengar semakin lirih. "Aku tidak seharusnya mengatakan hal-hal seperti itu. Aku... aku ingin kita bisa menjadi saudara." 

Sendu terdiam sejenak, matanya masih berkaca-kaca. Ia merasa sedikit lega mendengar permintaan maaf Arga. Ia berharap bahwa Arga benar-benar menyesali perkataannya. 

"Aku... aku mau mencoba," kata Sendu, suaranya masih sedikit gemetar. "Tapi... tapi kamu harus berusaha untuk menerimaku." 

Arga mengangguk pelan. "Aku akan berusaha," kata Arga, suaranya terdengar tulus. "Aku... aku ingin kita bisa menjadi saudara yang baik." 

Sendu tersenyum tipis. Ia berharap bahwa Arga benar-benar akan berusaha untuk menjadi saudara yang baik. Ia berharap bahwa ia bisa menemukan kebahagiaan di keluarga barunya. 

Namun, di balik senyum tipis itu, Sendu masih menyimpan rasa takut dan keraguan. Ia masih terluka oleh kata-kata Arga. Ia masih merasa tidak yakin apakah ia bisa benar-benar diterima di keluarga baru ini. Ia masih merasa seperti anak pungut yang terbuang, yang tidak memiliki tempat di dunia ini. 

Sendu teringat kembali masa kecilnya di panti asuhan. Ia selalu merasa berbeda, selalu merasa tidak cukup baik. Ia sering kali diabaikan oleh anak-anak lain, dicemooh, dan dijauhi. Rasa sakit itu kembali muncul, bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Sendu merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tak berujung. Ia tidak tahu bagaimana cara keluar dari rasa sakit ini. 

Sendu terdiam, matanya menatap Arga dengan penuh keraguan. Ia tidak tahu apakah harus percaya pada permintaan maaf Arga. 

"Aku tahu aku salah," lanjut Arga, suaranya terdengar semakin lirih. "Aku tidak seharusnya mengatakan hal-hal seperti itu. Aku... aku ingin kita bisa menjadi saudara." 

Sendu terdiam sejenak, matanya masih berkaca-kaca. Ia merasa sedikit lega mendengar permintaan maaf Arga. Ia berharap bahwa Arga benar-benar menyesali perkataannya.  [5]

"Aku... aku mau mencoba," kata Sendu, suaranya masih sedikit gemetar. "Tapi... tapi kamu harus berusaha untuk menerimaku." 

Arga mengangguk pelan. "Aku akan berusaha," kata Arga, suaranya terdengar tulus. "Aku... aku ingin kita bisa menjadi saudara yang baik." 

Sendu tersenyum tipis. Ia berharap bahwa Arga benar-benar akan berusaha untuk menjadi saudara yang baik. Ia berharap bahwa ia bisa menemukan kebahagiaan di keluarga barunya. 

Namun, di balik senyum tipis itu, Sendu masih menyimpan rasa takut dan keraguan. Ia masih terluka oleh kata-kata Arga. Ia masih merasa tidak yakin apakah ia bisa benar-benar diterima di keluarga baru ini. Ia masih merasa seperti anak pungut yang terbuang, yang tidak memiliki tempat di dunia ini. 

Sendu terdiam, matanya menatap Arga dengan penuh keraguan. Ia tidak tahu apakah harus percaya pada permintaan maaf Arga. 

"Aku tahu aku salah," lanjut Arga, suaranya terdengar semakin lirih. "Aku tidak seharusnya mengatakan hal-hal seperti itu. Aku... aku ingin kita bisa menjadi saudara." 

Sendu terdiam sejenak, matanya masih berkaca-kaca. Ia merasa sedikit lega mendengar permintaan maaf Arga. Ia berharap bahwa Arga benar-benar menyesali perkataannya. 

"Aku... aku mau mencoba," kata Sendu, suaranya masih sedikit gemetar. "Tapi... tapi kamu harus berusaha untuk menerimaku." 

Arga mengangguk pelan. "Aku akan berusaha," kata Arga, suaranya terdengar tulus. "Aku... aku ingin kita bisa menjadi saudara yang baik." 

Sendu tersenyum tipis. Ia berharap bahwa Arga benar-benar akan berusaha untuk menjadi saudara yang baik. Ia berharap bahwa ia bisa menemukan kebahagiaan di keluarga barunya. 

Namun, di balik senyum tipis itu, Sendu masih menyimpan rasa takut dan keraguan. Ia masih terluka oleh kata-kata Arga. Ia masih merasa tidak yakin apakah ia bisa benar-benar diterima di keluarga baru ini. Ia masih merasa seperti anak pungut yang terbuang, yang tidak memiliki tempat di dunia ini. 

Sendu terdiam, matanya menatap Arga dengan penuh keraguan. Ia tidak tahu apakah harus percaya pada permintaan maaf Arga. 

"Aku tahu aku salah," lanjut Arga, suaranya terdengar semakin lirih. "Aku tidak seharusnya mengatakan hal-hal seperti itu. Aku... aku ingin kita bisa menjadi saudara." 

Sendu terdiam sejenak, matanya masih berkaca-kaca. Ia merasa sedikit lega mendengar permintaan maaf Arga. Ia berharap bahwa Arga benar-benar menyesali perkataannya. 

"Aku... aku mau mencoba," kata Sendu, suaranya masih sedikit gemetar. "Tapi... tapi kamu harus berusaha untuk menerimaku." 

Arga mengangguk pelan. "Aku akan berusaha," kata Arga, suaranya terdengar tulus. "Aku... aku ingin kita bisa menjadi saudara yang baik." 

Sendu tersenyum tipis. Ia berharap bahwa Arga benar-benar akan berusaha untuk menjadi saudara yang baik. Ia berharap bahwa ia bisa menemukan kebahagiaan di keluarga barunya. 

Namun, di balik senyum tipis itu, Sendu masih menyimpan rasa takut dan keraguan. Ia masih terluka oleh kata-kata Arga. Ia masih merasa tidak yakin apakah ia bisa benar-benar diterima di keluarga baru ini. Ia masih merasa seperti anak pungut yang terbuang, yang tidak memiliki tempat di dunia ini. 

Sendu terdiam, matanya menatap Arga dengan penuh keraguan. Ia tidak tahu apakah harus percaya pada permintaan maaf Arga. 

Sendu Dan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang