Ketika pena telah diangkat
dan kertas sudah mengering,
Apa yang telah menjadi takdirmu
sungguh tak bisa engkau hindari****
Dalam hidup ini, kegagalan kerap membuat mental manusia merosot ke bumi. Ketika jiwa bertahan hidup tergerus akan pahitnya kenyataan, meski dinilai pengecut, dengan terpaksa mengambil jalan untuk melarikan diri. Ya, dengan terpaksa menjauh dari orang-orang yang berbahagia di atas deritanya, dengan tak tahu malu mengabaikan rasa iba yang ditunjukkan orang banyak padanya. Semua itu ia lakukan demi untuk bisa melanjutkan hidup.
Hazelia, wanita cantik yang kini telah sah menyandang status janda. Bermodalkan motor matic miliknya sendiri, ia meninggalkan kediaman mewah mantan suaminya. Rumah yang menjadi saksi bagaimana bahagia hidupnya dahulu bersama sang suami. Juga menjadi saksi bagaimana kejamnya sang sahabat merebut posisinya dengan dukungan sang mantan mertua.
Hazelia masih duduk di atas motor, memandangi kediaman mendiang kakek dan neneknya yang telah lama ditinggalkan.
Merogoh saku tasnya, Hazelia mendapatkan kunci kediaman itu. Ia berjalan membawa koper berukuran besar, meletakkan di atas lantai kayu setelah tiba di beranda rumah itu.
Menyapukan pandangan ke sekitar, terlihat bola lampu beranda itu pecah, "Sepertinya rumah ini benar-benar ditinggalkan."
Mencoba beberapa kunci, hingga akhirnya ia berhasil membuka daun pintu. Betapa terkejutnya Hazelia saat masuk ke dalam rumah tersebut. Benar kata orang, jangan memandang sesuatu dari luarnya saja. Langkah kaki mengajak diri menyusuri area dalam rumah tersebut, sangat bersih.
Menggosok ujung jarinya ke atas meja televisi, butiran debu tak nampak pada permukaan jarinya.
"Bersih sekali, sepertinya rumah ini rutin dibersihkan." Hazelia bergumam.
Tengah memerhatikan keadaan setiap ruangan, sebuah suara di beranda membuat Hazeli mengintip dari jendela dengan kaca nako berwarna gelap.
Tante Lila ....
Yang datang adalah seorang wanita yang usianya tak jauh dari Hazelia. Ia melihat koper besar di depan pintu yang terbuka.
Membawa diri untuk lebih masuk ke dalam rumah, betapa terkejut dirinya mendapati sang keponakan ada di sana.
"Hazelia, ternyata kau."
"Hmm, selamat sore tante," sapa Hazelia singkat. Ia melanjutkan aktivitas memeriksa keadaan rumah tersebut.
"Apa tante yang rutin membersihkan rumah ini?"
"Ya. Setiap hari aku ke sini."
"Kenapa tidak mengganti lampu di beranda?"
Lila mengambil duduk di sofa ruang tamu, "Apa kau lupa, aku sama seperti kau, diciptakan dengan tinggi yang tak seberapa."
"Lho, kemana suami tante yang tinggi menjulang itu?," tanya Hazelia sembari membuka kaca demi memberi jalan agar udara masuk ke ruangan itu.
"Dia sibuk."
Lekas Hazelia berbalik mendengar jawaban Lila, "Sesibuk apa Draco hingga untuk membantu mengganti lampu teras pun tak bisa?"
"Hazelia! Panggil dia paman!" sentak Lila.
Sang keponakan hanya mendengus, ia mengabaikan Lila yang menatap tajam padanya.
Keponakan satu ini, memang kerap membuat emosi Lila melonjak naik. Secara terang-terangan ia menunjukkan rasa tak suka pada suaminya, padahal sikap Draco sangatlah baik.
"Baiklah. Tapi bukankah kalian terkenal sangat romantis di dalam keluarga kita, kenapa hanya sekedar mengganti bola lampu dia tak bisa?"
"Dia sibuk! Pekerjaannya sangat banyak. Lagipula, kediaman ini tidak ada yang menempati, jadi biarkan saja gelap gulita saat malam." Lila masih membela sang suami. Sungguh ia tak rela Hazelia terus-menerus memandang salah suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Untuk Hazelia
RomanceDia pernah disayangi dan dicintai secara ugal-ugalan. Disanjung dan dipuja sang kekasih hati karena dia memang begitu indahnya. Bunga yang mekar suatu saat akan layu, seperti dirinya yang mulai tak sedap dipandang mata hingga akhirnya dia ditinggalk...